Monday, February 09, 2004

BULAN BULAT PENUH DAN BERCAHAYA



Aku ingin punya anak.. aku ingin punya anak.. layar komputerku tiba-tiba penuh dengan tulisan itu. Seharusnya aku menyiapkan berkas pembelaan untuk kasus perebutan anak besok. Tapi entah kenapa kalimat itu yang keluar. Belakangan, hal inilah yang selalu menggayuti pikiranku. Bukan bayangan wajah Rein yang berlutut melamarku bulan kemarin. Aku belum ingin menikah, jawabku kemudian yang langsung meredupkan sinar mata Rein. Bukan, bukan itu. Tapi bayangan bayi, anak kecil yang mungil. Iya, anak.. anak.. dan anak..
Sebabnya, sih, sepele. Beberapa hari kemarin aku mengajukan cuti dan bertandang ke rumah Rossy, sahabat kentalku waktu kuliah yang setelah jadi sarjana langsung diboyong suaminya ke Yogya. Duh, lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Sekitar dua tahun setelah kami sama-sama lulus kuliah.
Pesawat yang membawaku dari Jakarta sampai di bandara Adi Sucipto jam 3 sore. Mataku mencari-cari kelebat sosok cantik Rossy diantara para penjemput. Rossy tidak bisa datang karena puteri mereka sedang rewel, begitu jelas mas Adi, suami Rossy yang bertugas menjemputku. Rossy memang beruntung mendapatkan mas Adi, kakak angkatan kami waktu kuliah di Jakarta. Sudah ganteng, pintar, baik, gemati, tanggung jawab, kaya pula, batinku sambil melirik mas Adi yang sedang menatap lurus ke depan konsentrasi nyetir. Jadi Rossy tidak perlu bersusah payah mencari pekerjaan seperti aku. Warisan perusahaan batik milik orangtua mas Adi sepertinya tidak akan habis untuk menghidupi sampai tujuh turunan. Ah, Rossy yang selalu beruntung!
Akhirnya kami tiba di halaman rumah yang besar penuh hiasan ukiran kayu. Sangat 'jawa' dan asri! Mas Adi membukakan pintu mobil. Angin sepoi-sepoi menyambutku. Sangat ramah, beda sekali dengan hawa di Jakarta. Mas Adi mengantar aku masuk setelah menyuruh pria setengah baya yang tadi membuka pagar membawa koperku ke dalam rumah.
Lin, anggaplah seperti rumah sendiri. Rossy sudah lama sekali ingin bertemu denganmu. Aku tak ingin mengganggu acara reuni kalian. Aku balik ke kantor dulu, ya, pamit mas Adi sambil masuk ke mobilnya lagi. Aku hanya menggangguk menyisakan senyum kagumku yang pernah kuberikan padanya sewaktu kami masih kuliah. Ah, dia pasti lupa.
Auline! Oh, suara itu dulu begitu akrab di telingaku. Aku menoleh sambil tersenyum. Tapi..
Heg! Aku kehabisan nafas saat sesosok tubuh gempal tiba-tiba mendekapku. Benarkah ini Rossy? Ternyata waktu tiga tahun mampu merubah primadona kampusku, hampir 360 derajat! Rossy yang cantik dan langsing kini berat badannya naik menjadi dua kali lipat. Tumpukan lemak di tubuhnya tidaklah seberapa dibandingkan caranya berdandan sekarang. Si modis nomer satu yang gaya dandannya susah payah aku tiru itu menyambutku dengan tubuh yang terbalut daster dan tanpa make up sedikitpun di wajahnya yang putih.
Aduh, kamu makin cantik saja, Rossy melepaskan pelukannya.
Kok malah bengong?Pipiku dicubitnya. Oh, Lord, sepertinya aku mendarat di tempat yang salah!

Nah ini kamarmu. Khusus aku tata sendiri untuk menyambutmu, Rossy tersenyum manis. Bahasa wajahnya tidak pernah berubah. Masih semanis dan secantik dulu.
Aih, indah sekali kamar ini pujiku tulus sambil berkeliling. Tempat tidurku tertutup bed cover dengan etnik batik yang segar. Ada jendela besar di samping yang memberiku pemandangan asri penuh bunga mawar yang sedang mekar. Rossy pintar sekali menata rumah, kagumku.
Kamu istirahat dulu ya. Itu kamar mandinya lengkap dengan handuk bersih. Pokoknya service hotel bintang 5, deh! canda Rossy membuatku makin yakin kalau ia memang Rossy yang dulu.
Suara tangis bayi lamat-lamat terdengar dari luar. Pasti itu anaknya.
Istirahat dulu, deh. Sudah saatnya Nissa minum susu.Rossy bergegas keluar kamar. Oh, Nissa nama anaknya. Nama yang sangat manis. Pasti secantik ibunya.
Badanku rasanya segar sekali setelah mandi berendam. Tak kelihatan letih di wajahku. Setelah menyapukan bedak dan lipstik tipis aku keluar kamar. Aku tak betah jika terkurung di ruang tertutup seperti ini. Aku tidak suka suasana yang sepi.
Suara tangisan Nissa tak lagi terdengar. Mungkin sedang tidur. Aku berjalan perlahan sambil mengamati setiap sudut ruangan. Itu dia Rossy di beranda. Aku menghampirinya. Astaga! Rossy sedang menyulam sambil duduk santai di kursi goyang. Benar-benar mengejutkan!
Hai sudah mandi?sapanya. Rossy meletakkan hasil sulaman di pangkuannya. Aku duduk di kursi kayu dekatnya. Sepertinya Rossy mengerti arti pandanganku.
Aku sedang bikin sweater buat Nissa. Lihat, hampir jadi kan?Rossy dengan bangganya memperlihatkan sweater mungil warna pink itu. Duh, imutnya..
Ah, dua tahun tak bertemu, kamu benar-benar mengejutkanku kataku. Rosy terkekeh.
Tubuhku ini atau hasil sulamanku? guraunya.
Biasa lah, namanya juga habis punya anak. Sebentar lagi juga langsing kembali,tambahnya.
Aku ingat, dulu waktu kuliah kamu selalu menghindari yang namanya memasak, menjahit, atau tetek bengek pekerjaan rumahan. But, look at you right now!
Waktu merubah segalanya, Lin. Cinta mas Adi dan peranku sebagai wanita, isteri, dan ibu. Terutama sejak kehadiran Annisa. Nissa adalah malaikat kecil kami. Setiap hari kami disuguhi keajaiban yang tak ada habis-habisnya wajah Rossy seperti bercahaya. Ah, aku tak mengerti maksudnya. Bagiku anak kecil ya hanya anak kecil. Bisanya menangis dan bikin berantakan saja.
Oh iya, bagaimana pekerjaanmu? Aku dengar kamu jadi pengacara terkenal. Auline Patricia, SH, si pengacara cantik yang tangguh, begitu media massa menyebutmu. Aku tak percaya waktu melihat wajahmu di televisi. Cita-citamu tercapai juga akhirnya. Kita berdua dulu mendamba kerja di kantor yang megah, menjadi pengacara terkenal. Kamu akhirnya yang mewujudkannya. Aku bangga menjadi sahabatmu,Rossy menyanjungku. Aku menunduk malu. Kini aku yang mendapat sanjungannya. Kemana perginya kebanggaanmu dulu, Ros?
Eh, mau membantuku memandikan Nissa? belum sempat aku menjawab, tangan Rossy sigap menggamit kelingkingku. Ah, rasanya seperti dulu. Rossy tidak suka menggandengku dengan cara yang biasa. Dia selalu mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya. Katanya ikatan seperti ini lebih kekal. Entahlah! Yang pasti aku sekarang disini. Dari semua teman kuliahku, sepertinya persahabatanku dengan Rossy lah yang paling awet.
Rossy membawaku ke kamar utama, sepertinya ini kamar mereka berdua. Lihat tempat tidur Rossy dan mas Adi. Di tempat inilah tentunya mereka menyulam malam dengan penuh kehangatan. Ah, mengapa dadaku terasa panas? Cemburukah? Bagaimana pun juga mas Adi adalah cinta pertamaku. Meskipun aku ikhlas saat melihat Rossy dan mas Adi berjalan di pelaminan. Aku patah hati, serentak bersama puluhan gadis yang memendam rasa serupa. Ah, luka lama..
Rossy menunjuk-nunjuk boks mungil dengan kelambu warna pink tak jauh dari tempat tidurnya. Aih, rupanya Nissa kecil bermain dengan boneka mungil yang digantung di atap boks bayi ini.
Nissa, bangun sayang. Tuh, tante Auline datang. Rossy mencium sayang pipi Nissa.
Kamu mau menggendongnya? tawar Rossy.
Ah, tidak. Aku takut melukainya, tolakku gemetar. Aku selalu enggan menyentuh bayi. Bayi selalu membuatku gugup dan takut.
Pelan saja, Rossy mengambil tanganku menyentuh pipi Nissa. Sesuatu yang hangat, empuk, dan lembut sejenak membuatku tak bisa berpijak.
Ah, tidak! Aku menarik tanganku dan mundur satu langkah ke belakang. Rossy memandangiku dengan aneh.
Maaf, aku tidak bermaksud.. kalimatku seperti tersekat di tenggorokan. Rossy hanya tersenyum sambil mengambil Nissa dalam gendongannya lalu membawanya ke kamar mandi mungil khusus untuknya. Aku hanya mengamatinya. Tangan Rossy demikian terampil mengusapkan air hangat ke tubuh Nissa. Pelan dan lembut. Mata Nissa mengerjap-ngerjap dengan lucunya. Tangan dan kaki mungilnya bergerak-gerak. Aku terpesona!
Malamnya aku tidak bisa memejamkan mata. Siluet Rossy dan mas Adi yang tak henti-hentinya bercerita tentang kelucuan Anissa mengusikku. Bayi itu memang sangat cantik. Wajar saja, bukankah orangtuanya 'bibit unggul' ? Mas Adi tampan dan Rossy cantik. Bisa dibayangkan jika keduanya 'berpadu', bukan? Bagaimana kalau Rein dan aku punya anak, ya? Aku cantik meski tak secantik Rossy. Dan Rein? Pria yang sangat menarik. Pria kedua yang mampu membuat hatiku lumpuh. Tapi sekarang, apakah Rein masih mau menerimaku? Ah, ada-ada saja. Malam ini aku tidur dengan muka tertutup bantal.
Lagi-lagi lengkingan tangisan Annisa membangunkan tidurku. Ini yang kedua kalinya. Jam 2 pagi? Hmm, bagaimana Rossy bisa tahan setiap malam harus bangun dan menenangkan anaknya yang menangis. Kasihan..
Aku berjingkat keluar. Kulihat Rossy sedang menggendong bayinya di beranda samping.
Nangis lagi? bisikku mendekat.
Pipis,jawabnya lembut takut mengagetkan Anissa yang sudah mulai tenang. Mas Adi mengambil Anissa dari gendongan Rossy.
Hari ini giliran mas Adi menenangkan Annisa kalau terbangun. Mas Adi besok berangkat tugas ke Surabaya selama seminggu. Kasihan, dia pasti kangen Anissa,jelas Rossy.
Sinar bulan jelas menerangi wajah Rossy. Cantiknya. Aku menunduk.
Lihat, bulan purnama! Dulu kita suka sekali melihatnya sampai pagi, kan? aku tergelak. Kenangan demi kenangan membanjir seperti membuka album poto lama. Kami berdua memang suka sekali melihat bulan purnama. Bulat penuh dan bercahaya. Sampai-sampai aku minta dibuatkan loteng agar bisa melihat dengan jelas jika bulan purnama datang. Aku selalu mengajak Rossy untuk menikmatinya ditemani makan makanan dan minuman ringan. Kini kami berdua kembali mengingatnya.
Bagaimana kabar loteng kita?
Masih ada. Tapi aku sekarang tinggal di apartemen. Jadi aku tak bisa minta dibuatkan loteng
, kami berdua tertawa. Sudah lama kami tidak seperti ini.
Kenapa kamu belum menikah? tanya Rossy. Deg! Pertanyaan ini lagi.
Ups, sorry kalau kamu keberatan menjawabnya.
Aku benci pernikahan. Begitu rumit. Aku juga tidak suka ributnya anak-anak
, jawabku.
Itu sebabnya kamu bersikap seperti tadi? aku mengangguk.
Kalau kamu tanya bagaimana pendapatku tentang pernikahan, akan kukatakan jika di dunia ini ada sorga, pernikahan itulah sorga dunia.Ah, sulit sekali mencerna kalimat Rossy..

Aduh, nangis lagi. Mataku sangat berat. Ah, baru jam 7 pagi. Aku dan Rossy tadi begadang sampai jam 4 pagi. Anissa kecil, tahukah kau, tante masih mengantuk? Aku mencari sumber suara tangisan itu.
Aduh, Lin. Untung kamu sudah bangun. Si mbok nggak masuk kerja, jadi aku harus masak. Tolong jaga Annisa, aku ke supermarket sebentar. Eh, Pak Jiman, tolong antar saya ke supermarket!Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Rossy sudah keluar dan disambut pak Jiman, sopir pribadinya. Dalam hitungan detik, mobil yang membawa Rossy hilang di telan pintu pagar. Apa-apaan ini? Rutukku kesal. Daripada mengurus bayi aku lebih memilih berdebat dengan jaksa bertangan besi. Tak ada orang lain selain aku dan bayi ini. Apa yang harus ku lakukan?
Anissa masih menangis. Kudekatkan ujung botol susu ke mulutnya perlahan. Ah terdiam, aku lega. Tapi beberapa detik kemudian menangis lagi. Aku harus bagaimana ini? Aku panik. Anissa menolak botol susunya.
Dingin, ya? Tante hangatkan dulu, ya. buru-buru aku ke dapur. Mengambil baskom, mengisinya dengan campuran air dingin dan panas dari dispenser, lalu memasukkan botol susu tadi. Beberapa detik aku angkat. Hangat. Aku kembali ke boks Annisa. Tangisnya makin kencang. Ada apalagi? Mengapa kain yang ditidurinya basah? Ngompol, ya? Duh, kamu benar-benar mau ngerjain tante, ya? kataku kesal. Dimana lagi Rossy menyimpan kain pengganti dan celana bersih. Tidak mungkin aku masuk ke kamar pribadi Rossy. Aku memutar otak. Hmm, jemuran! Ah, benar. Untung ada yang kering. Dengan pengetahuan seadanya dan selembut mungkin aku mengganti kain pelapis dan celananya. Nah, kamu bisa tertawa sekarang ya? Merasa menang ya? Tanpa kusadari aku berdialog dengannya. Senangnya melihat bayi cantik ini tertawa dengan mulut mungilnya. Menggemaskan! Tangannya bergerak-gerak seperti ingin menggapai. Dengan memberanikan diri aku menyentuh tangannya dengan ujung jariku. Aku terkejut saat jemarinya reflek menggenggam erat jari telunjukku. Tiba-tiba ada sesuatu tumbuh hangat di dadaku. Lembut mengalir dan rasanya sangat menyenangkan. Entah kenapa aku tiba-tiba berani mendekatinya. Kini aku ingin mencium pipi gembilnya. Aku menikmati setiap kerjap bening matanya, gerak bibirnya, dan bau tubuhnya. Tuhan, apa yang terjadi?
Tak lama Rossy datang dengan kantong belanjaan.
Duh, maaf ya ngerepotin. Nissa rewel?sapa Rossy setelah meletakkan belanjaannya. Aku tersenyum.
Mungkin kangen dengan mamanya,jawabku dengan perasaan tak rela waktu Rossy menggendongnya. Anissa sepertinya menikmati buaian ibunya. Tiba-tiba aku rindu tangan mungil yang menggenggam erat jari telunjukku!
Tak terasa sudah tiga hari aku di rumah Rossy. Makin hari Annisa makin menggemaskan. Anehnya aku selalu berdoa moga-moga mbok Surni, tukang masak dan cuci Rossy, terlambat atau tidak masuk kerja. Supaya aku bisa berlama-lama bercanda dengan Anissa sementara Rossy masak. Dan anehnya doaku selalu terkabul. Kalau kemarin mbok Surni nggak bisa datang karena cucunya sakit, hari ini datang terlambat. Mau tak mau Rossy harus masak. Mengharap bantuanku memasak? Tak mungkin, karena aku tidak bisa memasak.
Kulihat Rossy kebingungan menenangkan Anissa.
Mau masak? Biar aku saja yang menggendong Anissa, ujarku pelan. Rossy menatapku tak percaya. Aku mengangguk, mantap. Ada kecipak senang di mata Rossy. Dengan lembut ia mengangsurkan tubuh mungil Anissa dan memberiku kursus kilat menggendong. Aku sendiri tak percaya saat bisa memeluk tubuh mungil ini berada dalam pelukanku.
Nissa, bisakah kau dengar detak jantung tante berdetak sangat cepat. Detaknya lebih cepat dibandingkan saat Om Rein mencium bibir tante untuk pertama kali. Tangan tante juga gemetaran. Tahukah kau, kau memang lebih menakutkan dari hakim killer yang menghunjam klien tante dengan vonis. Tapi kamu sangat lembut, selembut sutra yang biasa tante kenakan saat berkencan dengan Om Rein. Selembut ciuman Om Rein di kening tante setiap kali mengantar tante pulang. Kamu sangat cantik, Nissa, secantik dan selembut sinar bulan purnama..
Aku tergagap dari lamunan. Bunyi cerurit telepon genggamku membawaku kembali ke alam nyata. Nomer telepon genggam Rein berkedip-kedip di layar ponselku.
Auline, belum tidur? tanya Rein dari seberang.
Belum.
Coba buka jendela. Bulan purnama masih tersisa di langit.
Aku beranjak membuka jendela, menatap ke angkasa. Iya, masih bulan purnama. Bulat penuh dan bercahaya.
Aku hanya ingin kamu melihatnya, Lin. Apakah kamu sudah melihatnya?
Aku mengiyakannya.
Sekarang kita berdua melihat ke arah yang sama, ujar Rein pelan. Ah, Rein selalu romantis. Bikin rindu saja…
Akhirnya kamu mau bicara denganku lagi. Aku kira kamu marah dan membenciku, jawabku pelan.
Setelah kamu menolak pinanganku? Seharusnya iya. Tapi aku masih sangat mencintaimu. Aku hanya butuh waktu untuk mencerna hubungan kita. Aku pikir semuanya sudah siap. Ternyata aku salah. Aku pikir kamu mencintaiku.
Iya, aku mencintaimu.
Tapi kamu tidak mau menikah denganku.
Tandasnya.
Aku ingin sekali punya anak.. entah darimana asalnya kalimat ini mengalir begitu saja. Aku tercekat. Mataku menatap nanar sinar bulan. Sinarnya jatuh seperti memelukku.
Anak ? nada suara Rein meninggi tak percaya. Terlanjur sudah..
Iya, anak. Aku ingin sekali punya anak. Tapi aku tidak ingin menikah.Aku mulai tergugu. Bagaimana bisa aku selemah ini?
Kamu kenapa, Lin? Apa aku tidak salah dengar?
Tidak.
Kamu ingin punya anak?
Iya.
Tapi kamu tidak ingin menikah?
Iya.
Apa kamu ingin mempunyai anak tanpa ayah?
Tidak.
Jadi kamu ingin punya anak yang mempunyai ayah?
Iya.
Kamu ingin mengadopsi anak?
Tidak.
Kamu ingin anakmu sendiri?
Iya.
Melahirkan anakmu sendiri?
Iya.
Jadi kamu ingin punya anak yang juga mempunyai ayah. Berarti kamu harus menikah dulu agar anakmu mempunyai ayah.
Aku terdiam. Hening. Rein menunggu.
Kalau begitu aku ingin menikah, putusku mantap.

written by santie
(2 : little GG)

Tuesday, January 27, 2004

PERASAAN AJAIB



Ulin hampir nggak percaya apa yang barusan Adon katakan. Ditatapnya cowok yang sedang di depannya lebih lekat. Ditatanya kembali hatinya yang dalam sedetik hancur berantakan berkat Adon. Ulin mengambil nafas panjang. Merangkai kalimat. Menikam manik mata Adon.
Kau telah membuatku jatuh cinta, Adon. Kaulah satu-satunya yang mampu membuatku merasakan perasaan ajaib yang nggak pernah aku duga akan bisa merasakannya. Apa jadinya aku bila tanpamu? Adon mencoba menghindari telaga mata Ulin yang menatapnya tajam. Ada gelombang disana, siap menelannya. Semilir angin taman mempermainkan poni rambut Ulin. Damn, gimana ini? Bayangan senyum manis Allya seperti menariknya agar menjauhi Ulin.
Aku.. nggak bisa Lin. Aku.. aku sepertinya sudah kehilangan perasaan ajaib itu. Maaf. Adon menunduk. Dasar pengecut! Hardiknya pada diri sendiri! Mengapa jadi ribet begini. Dia kira akan mudah mutusin cewek yang selama 3 tahun ini, sejak mereka sama-sama kelas 2 SLTP ini, selalu menemaninya, menjadi sahabat sekaligus kekasihnya.
Karena Allya kah? tebakan Ulin langsung menikam jantungnya. Adon benar-benar kehilangan muka. Wajahnya memerah. Adon rasanya ingin mengecil agar bisa sembunyi dari pandangan Ulin.
Ulin menghembuskan nafas panjang. Tersenyum pahit. Ia sudah menduganya. Allya.. dia hadir diantara kami. Sejak Allya pindah ke sekolah ini, dia selalu mencari masalah denganku. Ditambah dengan kenyataan kalau Ayah akan menikahi mama Allya, yang ternyata juga sekretaris Ayah di kantor. Tak perlu alasan lain lagi untuk tidak memusuhinya. Apalagi kecurigaanku kini terbukti. Allya pun menaruh hati dengan cowokku, Adon.
It’s oke, kalau itu keputusanmu. Aku harap kau bahagia, Don. Ulin berdiri, menyibakkan roknya yang kotor karena rumput. Ulin memang kuat! Aku Adon sambil ikut bangkit. Adon menyambut uluran tangan Ulin dengan setengah hati. Benarkah aku telah menyakiti hatinya? Selama 3 tahun, baru sekali ini Adon melihat Ulin terlihat sedih. Meski disembunyikan, Adon tahu Ulin terluka. Andai aku bisa memiliki kalian berdua,.. harap Adon kosong.
Kau berhasil menyakitiku, cowboy! bisik Ulin sedikit bercanda sambil memukul lembut bahu kanan Adon. Cowboy,.. itu julukan Ulin untuknya. Iya, aku cowboy, Lin, dan sebentar lagi mungkin menjadi playboy!
Adon menatap Ulin yang berlalu meninggalkannya. Batinnya perang, benarkah apa yang telah dilakukannya? Pantaskah aku melepas bidadari baik hati itu demi Allya? Bayangan Ulin menghilang, berganti dengan sosok Allya yang perlahan mendekatinya. Adon tersenyum menyambutnya.
Udah selesai urusannya dengan Ulin, kan?bisik manja Allya memabukkannya. Di dalam mobil, Ulin bisa melihat kemesraan mereka dari kejauhan. Kamu menang Allya! Kali ini kamu menang! Ulin langsung tancap gas meninggalkan taman kenangan tempat Adon menyatakan cinta, sekaligus mencampakannya. Ulin membelokkan mobilnya menuju rumah sakit.

Bau obat-obatan yang khas langsung menyergapnya begitu masuk ke kamar bundanya dirawat. Sesosok tubuh terbujur lemah di tempat tidur yang bernuansa serba putih itu. Mbak Ijah tampak sedang sibuk membereskan meja. Ulin tersenyum. Diambilnya kertas gambar di rak. Lalu Ulin menulis sesuatu.
Bunda,.. dunia ini terlalu kejam untukku. Kadang-kadang aku nggak kuat untuk menghadapinya. Aku tidak bisa pura-pura kelihatan kuat terus. Saat aku jatuh, aku butuh pegangan. Bolehkah aku berpegangan padamu, bunda? Ulin memperlihatkan kertas yang ditulisinya pada bunda nya yang masih terbujur karena stroke. Mata bundanya berkedip-kedip membaca setiap barisnya. Ada telaga penuh luka, sama persis yang dipunyai Ulin. Tangan bunda bergerak-gerak seperti ingin memeluknya. Ulin mengerti. Didekatkan kepalanya lembut ke atas dada bunda. Bundaku sayang cepatlah sembuh, anakmu membutuhkanmu..

Ulin melempar tasnya sembarangan di ruang tamu. Hari ini sangat melelahkan. Dicampakkan Adon di taman, mencari perlindungan di rumah sakit tempat bunda di rawat, dan sekarang ia sampai di rumah tak ada yang menyambutnya. Sudah cukupkah apa yang dialaminya hari ini? Rumah ini sepi, sangat sunyi. Sejak bunda mengalami stroke gara-gara berita ayahnya mau menikah lagi, rumah ini seperti mati. Untung aku tidak punya saudara. Jadi aku tidak akan melihat telaga yang sama penuh luka. Cukup miliknya dan bunda.
Ulin beranjak ke dapur, masak seadanya. Ah, ternyata Mbak Ijah sempat membuatkan makan malam untuknya sebelum berangkat ke rumah sakit. Biasanya ada Mbak Ijah yang mengurus keperluan keluarganya. Tapi seharian Mbak Ijah merawat bunda di rumah sakit. Bunda jauh lebih membutuhkan mbak Ijah daripada dirinya. Seminggu seperti ini. Ulin beberapa kali absen kegiatan ekskul dan band nya. Ah, di saat-saat seperti ini biasanya ada Adon yang selalu menemaninya. Ulin ingat, Bunda sudah menganggap Adon seperti anak sendiri. Mau mandi, makan, ngobrak-abrik taman belakang dan dapur, main catur,.. semuanya diperbolehkan bunda. Mungkin karena Adon sudah biasa main ke rumah dan selalu mendapat suntikan cerita positip dariku, makanya bunda membuka pintu lebar-lebar untuk cowok yang selama 3 tahun sudah memberinya cerita indah. Tapi kejadian tadi benar-benar menyakitinya. Sama sakitnya dengan kepergian Ayah demi wanita lain, mamanya Allya. Kenapa cinta bisa menyakiti? Ah, bodoh! Bunda dan Ayah yang sudah menikah selama 20 tahun saja bisa berpisah, apalagi aku yang baru 3 tahun pacaran. Don’t give up, Ulin! Ulin mengambil air wudhlu, mencoba melabuhkan dukanya pada Yang Maha Esa.

Kak Ulin datang.. kak Ulin datang.. teriakan-teriakan dari mulut mungil menggemaskan itu menyambutnya saat tiba di panti asuhan Melati sepulang sekolah. Ah, sudah lama ia tak kesini. Ibu Reni, pengasuh panti ini, tampak kewalahan ditarik-tarik anak-anak umur 5 tahunan penghuni panti asuhan itu untuk menyambut kedatangannya. Ulin tak kuasa menahan senyumnya. Inilah penghiburanku!
Wah tumben nak Ulin datang, senyum arif wanita bijak pengelola panti asuhan ini menyejukinya. Ulin tersenyum tak bisa mengucap sepatah katapun. Dadanya sesak! Lalu diisyaratkan anak-anak itu untuk mengambil makanan kecil yang tersimpan di bagasinya. Kunci mobil dilemparkannya pada Ujang, anak asuh yang tertua. Tanpa dikomando dua kali, anak-anak itu sudah mengerumuni Ujang. Bu Reni mengajak Ulin ke dalam.
Bagaimana keadaan Bunda nak Ulin?tanya bu Reni prihatin.
Seperti biasa, bu. Kata dokter semuanya tergantung kemauan bunda dan doa kita, Ulin menelan ludah, pahit rasanya.
Nak Ulin gadis yang baik. Doa nak Ulin pasti didengar Nya,bu Reni tersenyum bijak.
Amien.Ujar mereka bebarengan.
Ingin nengok anak-anak bu. Ada perkembangan baru selama saya lama tidak datang?
Hmm, ini nak.. sebenarnya ibu nggak tega mau ngomongin hal ini karena kondisi nak sendiri yang nggak begitu baik. Ibu hanya ingin ngasih tahu saja, kalau mulai bulan depan, ayah nak Ulin menghentikan dana untuk panti asuhan ini Dwar! Rupanya badai yang dialaminya belum cukup.
Kapan Ayah bilangnya? Kenapa? Ulin tersekat.
Kemarin, di telepon. Beliau sih nggak menjelaskan alasan rincinya soalnya seperti terburu-buru. Tapi nak Ulin nggak usah khawatir, anak-anak kan sudah bisa membuat souvenir buat dijual. Lumayan buat tambah-tambah makan mereka,
Lalu sekolahnya gimana? Baju? Ayah keterlaluan! emosi Ulin tak terbendung lagi.
Sabar nak.. sabar.. bu Reni mencoba menenangkannya.
Bu, saya pamit dulu. Sampaikan salam saya pada anak-anak. Lain kali saya datang lagi. Tolong jaga mereka.. Ulin bergegas keluar menghampiri mobilnya yang menggigil di luar. Ulin masih bisa melihat lambaian tangan anak-anak tak berdosa itu menyemangatinya.

Ulin seharian resah di ruang kelas, nggak konsen sama pelajaran hari ini. Pikirannya sibuk mencari cara untuk menolong anak-anak panti itu. Ulin bahkan malas keluar waktu jam istirahat tiba. Adon yang dari tadi memperhatikan Ulin di bangku belakang ikutan resah. Jangan-jangan ini karena ulahnya kemarin, tebaknya. Tiga tahun selalu bersama dan sekelas bukan waktu yang singkat untuk melupakan Ulin begitu saja. Adon memberanikan diri mendekati bangku Ulin. Di ruangan kelas ini hanya ada mereka berdua.
Nggak keluar? Biasanya kamu ke perpustakaan Adon ragu-ragu menyapanya. Suaranya lirih, hampir mirip bisikan. Ulin mendongak mencari-cari keteduhan yang dulu selalu ditemuinya di mata Adon. Keteduhan itu masih ada disana tapi bukan lagi miliknya! Ulin tersenyum kecut.
Kamu baik-baik saja? tanya Adon lagi lebih keras. Ulin memicingkan matanya.
Oh cowboy… jangan ge er. Aku sedih bukan karena kamu putusin, Don. Tenang saja. banyak masalah yang lebih besar dibandingkan ulahmu! Adon merasa ditampar.
Kok, kamu jawabnya gitu sih? Iya, aku akui aku memang salah telah menyakitimu. Aku minta maaf. Tapi persahabatan dan kebersamaan kita selama tiga tahun nggak akan rusak gara-gara itu, kan? Kita masih bisa berteman Lin. Aku bisa menjadi temanmu seperti dulu. Tempat kamu curhat. Kamu jangan sok kuat, deh.
Adon! lengkingan suara dari luar kelas bisa ditebak milik siapa. Allya! Ulin menelan ludah. Pahit!
Nggak, don. Situasinya udah beda sekarang. Jangan coba-coba jadi pahlawan! ujar Ulin lalu keluar kelas. Tak diperdulikannya Allya yang menatapnya dengan pandangan ingin menerkamnya.

Ayah, Ulin ingin ketemu,suara Ulin seperti tersangkut di tenggorokan.
Makan malam sama Ayah, yuk? suara ayahnya di telepon terdengar sangat gembira. Ulin mengiyakan nama restoran langganan keluarganya kalau ingin makan malam diluar. Aku harus bicara dengan ayah, tekad Ulin bulat sambil menutup telepon. Ulin mengambil kertas gambar dan menuliskan pesan untuk bundanya seperti yang setiap hari ia lakukan untuk berkomunikasi dengan bundanya. Kata dokter ini termasuk terapi yang akan membantu kesembuhan bunda.
Bunda, nanti malam Ulin janji makan malam dengan ayah. Panti asuhan harus diselamatkan dengan dana dari ayah. Do’ain Ulin, ya? begitu tulisnya. Mata bunda berpendar-pendar membaca tulisan itu lalu menatapnya dengan pandangan iba.
Ulin tahu. Bunda pasti selalu mendukung Ulin, Ulin merebahkan kepalanya. Diletakkannya tangan bunda di rambutnya. Mbak Ijah terharu melihat pemandangan di depannya. Hatinya dipenuhi dengan doa.

Ulin sedikit terlambat. Ayahnya tampak masih sibuk dengan laptop-nya. Ah, Ayah, nggak berubah juga.
Ayah.. laki-laki setengah baya itu menutup laptop-nya dan menatap gadis muda yang duduk di depannya. Ia melihat garis-garis kecantikan yang pernah dikaguminya 40 tahun yang lalu..
Apa yang ingin kamu bicarakan?straight to the point, itulah ayah. Keras, seperti dirinya.
Soal dana panti asuhan. Kenapa ayah menghentikannya?tanya Ulin cepat.
Oh, masalah itu. Ada pengetatan dana di perusahaan. Bukan dihentikan, cuma dikurangi,jawab Ayahnya pasti sambil menikmati cappuccino nya.
Jangan dikurangi, Yah. Jumlah anak panti kan selalu bertambah. Dari mana mereka mencari kekurangan dana mereka kalau ayah menguranginya?
Ulin, Ayah ingin tanya. Apa urusan Ulin dengan mereka? Toh, Ulin nggak kenal dengan mereka. Mereka bukan teman bukan saudara. Rasanya bantuan kita sudah cukup banyak pada mereka. Lagi pula, panti itu nggak menghasilkan apa-apa untuk Ulin atau ayah.
Ayah salah. Panti itu berarti banyak buat Ulin. Di panti itu, Ulin menemukan keluarga yang tak pernah Ulin punyai.. Limpahan kasih sayang yang bahkan tak pernah Ulin dapatkan dari.. ayah,jawab Ulin agak pilu sarat rindu.
Lelaki yang biasanya terlihat perkasa itu tercengang. Benarkah apa yang didengarnya? Selama ini ia telah berperan menjadi ayah yang sempurna. Mencukupi apa kebutuhan Ulin dan keluarga, bahkan lebih. Lalu istrinya mulai sakit-sakitan dan ia harus mencari kesenangan di luar. Apa ini salah? Ulin, anak satu-satunya, mengalahkan limpahan hartanya demi panti asuhan itu? Sulit dipercaya!
Apa yang ayah cari? Ulin lebih memilih kedamaian, yah. Untuk Ayah, bunda dan Ulin. Ulin menginginkan cinta yang sederhana. Sebuah keluarga yang dilingkupi dengan kedamaian dan cinta. Panti asuhan itu telah menjadi bagian dari kebahagiaan Ulin, Ayah nggak bisa merebutnya begitu saja… seperti Ulin yang nggak akan mengganggu kebahagiaan Ayah dengan wanita yang Ayah anggap bisa menggantikan Bunda. Ayah yang mengajarkan Ulin untuk mandiri, kuat, dan berani dengan apa yang Ulin yakini. Ulin yakin dengan tindakan Ulin kali ini, yah. Pidato singkat keluar dari mulut anak kesayangannya. Iya, apa yang sebenarnya ia cari? Saat semuanya ada tiba-tiba menjadi tidak ada..
Oke. Ayah nggak akan mengurangi dana panti itu,keputusan ayahnya membuatnya terlonjak. Dipeluknya pria yang telah menanamkan sifat keberanian itu erat-erat. Sungguh, Ulin nggak mau kehilangan lagi!

Ulin diantar ayahnya sampai pagar rumah Ayahnya janji akan lebih rajin menjenguk bunda bersama dirinya. Ah leganya.. Ulin membuka pintu pagar setelah deru mobil ayahnya berlalu.
Adon?Ulin tak percaya melihat Adon duduk lesu di tangga teras rumahnya. Adon buru-buru bangkit dan merapikan rambutnya dengan jari. Malam ini cerah sekali.
Kamu kemana saja? Aku telepon dari tadi siang mailbox melulu. Aku mencemaskanmu. Ulin tersenyum sekaligus heran. Telepon genggamnya memang sengaja ia matikan sejak siang tadi. Ulin mengambil tempat di samping Adon. Berdua mereka duduk di tangga teras sambil melihat jalanan dan langit yang cerah berhiaskan bintang dan bulan.
Kapan ya terakhir kita seperti ini?bisik Ulin.
Kalau nggak salah pas kamu ulang tahun. Setelah itu kamu sibuk dengan bunda yang masuk rumah sakit dan seabrek urusan lainnya. O iya, tadi aku udah nengok bunda. Kondisinya makin membaik. Kamu hebat Ulin.. sanjung Adon tulus. Ulin tersenyum.
Saking hebatnya sampai kadang-kadang aku merasa nggak pantas mendampingimu,” lanjut Adon. Ulin mengernyitkan dahi. Wajah Ulin makin bersinar terkena sinar bulan.
Mengapa kamu berkata seperti itu? Dengan semua yang telah terjadi padaku, pada keluargaku, aku memang harus kuat. Aku terpaksa kuat, Don. Kalau tidak, mungkin aku lebih baik bunuh diri saja, ups.. Adon refleks menutup lembut mulut mungil Ulin dengan telapak tangannya. Ulin menahan nafas. Tuhan.. apa yang akan terjadi?
Kamu nggak boleh berkata seperti itu, Adon lalu menggenggam tangan Ulin.
Banyak orang membutuhkanmu, menunggu kau menularkan sinarmu pada orang lain, juga padaku. Kau matahariku, Ulin. Maaf, aku telah silau dengan sinar palsu yang sejenak saja keindahannya. Allya.. aku terperangkap dalam jeratnya. Kenapa kamu nggak bilang kalau dia anak wanita yang merebut ayahmu?Ulin perlahan melepas jari Adon.
Apa itu penting, Don?Ulin tersenyum sambil menatap bulan. Semua masalahnya satu persatu bisa diselesaikannya. Seperti sinar bulan yang lembut memberi terang bumi ini dan selembut hati Adon yang diam-diam selalu memberinya kekuatan. Adon menggeleng.
Nggak penting lagi. Semuanya akan baik-baik saja.. aku berjanji. Kamu mau memaafkanku?Ulin mengangguk. Ulin telah menemukan keteduhan di mata Adon, nyata untuknya.
Apa kabarnya 'perasaan ajaib' itu?canda Ulin.
Adon tersenyum. Diambilnya tangan Ulin, di dekatkannya ke dadanya.
Disini, 'perasaan ajaib' itu tinggal. Penuh. Apa kau merasakannya?
Ulin tersenyum. Tangan mereka saling menggenggam sangat erat.

Written by Juno
ps. cerpen ini dimuat di majalah Gadis no 3/2004

Sunday, December 07, 2003

TERIMA KASIH PAYUNGNYA, NEAL



'Aku rindu, Nda. Aku rindu semua tentangmu. Perasaan ini semakin menggila dan seperti penyakit saja. Aku harap saat ini aku adalah Superman, maka bisa kubawa diriku terbang ke tempatmu. Stupid, ya?'
Aku menuntaskan membaca kalimat terakhir e-mail Neal yang agak lain dari biasanya, malam ini. Ah, Neal. Kata-katamu sulit kumengerti. Apa sebenarnya yang ingin kau ungkapkan? Aku mengambil nafas panjang. Aku urung membalas e-mail Neal. Aku takut salah mengartikan kalimatnya. Beri aku waktu dua atau tiga hari, putusku sambil mematikan komputer dan siap-siap tidur. Setiap kalimat di email Neal terngiang-ngiang di telingaku. Duh, kenapa sulit sekali memejamkan mata? Ah, malam ini akan menjadi sangat panjang ...

'Gimana kabar, Neal?' tanya Andin waktu aku papasan dengannya di kelas. Aku mengangkat bahu. Hanya mengangkat bahu tanpa sepatah kata. Reaksi yang sama kuberikan setiapkali teman-teman yang lain menanyakan kabar Neal hari ini. Lihat Neal, semua merindukanmu. Tapi entah kenapa aku enggan membicarakanmu. Biasanya setiapkali e-mail mu datang, aku langsung berbagi cerita dengan mereka. Teman-teman band-mu dulu masih suka meneleponku untuk menanyakan perkembanganmu disana. Mereka masih menyayangimu. Begitu pula … aku.
Aku menatap taman samping sekolah dari balik jendela kaca kelas. Sebenarnya sekarang aku sudah bisa pulang. Begitu juga beberapa teman yang lain. Tapi kali ini hujan turun deras sekali dan aku terpaksa harus berteduh di kelas kalau nggak ingin basah kuyup sampai rumah. Andai ada kamu, Neal… tentu suasananya nggak akan membosankan seperti ini, keluhku sambil membayangkan sosok Neal yang jangkung lari menembus hujan menghampiriku. Ajaib! Tiba-tiba bayanganku berujud. Sesosok tubuh jangkung berlari-lari menembus hujan menuju ke arahku. Aku mengucek-ucek mataku nggak percaya.
'Hi Nda… ' sosok basah kuyup itu menyapaku. Aku memukul jidatku sendiri. Bodohnya mengharapkan Neal tiba-tiba berada disini!
'Hi Ton,' balasku malas sambil terus menatap rintik hujan. Ternyata Tony, teman dekat Neal. Jari-jariku mulai meneruskan gambar acak yang kubuat di kaca yang mengembun.
Tony mengibas-ibaskan rambutnya yang basah. Sebagian memercik kena mukaku.
'Apa-apaan, sih?' tegurku. Aku menatap wajah Tony dengan kesal.
'Kamu melamun aja, Nda. Ingat Neal, yaaa … ' godanya. Aku tersenyum kecut. Begitu mudahkah aku ditebak? Tony duduk di dekatku, merapatkan kedua tangannya di dada lalu memandang ke luar kelas sepertiku.
'Asyik, ya kalau ada Neal. Suasananya pasti nggak garing seperti saat ini.' Aku membenarkannya dalam hati. Neal seperti matahari. Selalu ada kehangatan dan keceriaan dimanapun dia berada. Aku merasakan kehilangan yang sangat saat Neal kembali ke negaranya, Australia, karena program pertukaran pelajar yang diikutinya selesai. Padahal aku mengenalnya belum genap setahun.
'Hmm, kira-kira Neal sedang apa, ya sekarang?' gumam Tony memancingku. Aku tak bergeming. Neal sedang rindu padaku, Ton, ingin aku berkata seperti itu padanya.
'Disana sedang musim panas, Ton. Dia pasti sedang kegerahan,' jawabku sedikit bergurau. Tony tersenyum nakal.
'Wah, si muka bayi itu pasti sedang berjemur di pantai ditemani cewek-cewek bule Nda ! Wuih, senangnya jadi Neal … ' ujar Tony seenaknya. Aku berharap hujan turun makin deras sehingga aku nggak lagi mendengar celotehan Tony selanjutnya.
'Eh, Nda, tahu nggak … Neal naksir kamu, lho!' pancing Toni.
Mau nggak mau aku terpaksa membuka sumbatan kupingku.
'Ngaco kamu Ton … ' kilahku.
'Yeee … nggak percaya. Sebenarnya ini rahasia. Kamu nggak perhatiin cara Neal menatapmu saat bicara denganmu. Kamu nggak tahu, sih betapa bersemangatnya Neal waktu mencalonkanmu ikut lomba debat itu. Juga waktu anak-anak band menunjukmu jadi manager kami. Neal yang ambil suara.' Hatiku sedikit membesar mendengar bualan Tony.
'Ah, itu kan hanya perkiraanmu saja. Toh, Neal nggak pernah mengatakannya,' balasku berkilah penuh harap-harap cemas.
'Itu karena kamu dekat dengan Rio.' Plak! Aku seperti ditampar. Rio? Aku dekat dengan Rio karena memang aku ‘harus’ dekat dengan Rio. Rio adalah sepupuku yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi gara-gara bubuk putih maksiat itu. Jelas saja aku dekat dengan dia, karena aku diberi mandat orang tuaku dan orang tua Rio, yang juga Om dan Tanteku, untuk terus memantau dan membantu Rio mengikuti pelajaran dan kegiatan ekskul di sekolah. Makanya Rio sampai pindah sekolah, agar bisa satu SMU denganku, satu-satunya sepupunya. Memang, sih kedekatanku dengan Rio kentara banget dan banyak yang ngira aku pacaran dengan Rio. Aku sih nggak terlalu perduli dengan hal itu. lagi pula aku nggak mungkin menjelaskan kejadian yang sebenarnya ke semua orang, karena nggak baik untuk psikis Rio. Mantan pemakai, akan menjadi embel-embel di belakang nama Rio. Uh, sungguh nggak enak didengar! Jadi hanya orang tertentu saja yang tahu kondisi ini. Bahkan Neal dan Tony tak mengetahuinya, meskipun aku akrab dengan mereka dan makin akrab saat aku dipasrahi tugas menjadi manager kecil-kecilan band mereka.
Aku menelan kembali kalimat yang sudah ada di ujung lidahku.
'Neal, kan nggak mau mengganggu hubunganmu dengan Rio. Makanya dia menyimpan perasaannya dan hanya mengatakan sama aku saja. Itu pun di malam terakhir dia meninggalkan Jakarta. Aku ingin seperti Neal, Nda. Dia begitu pintar, dewasa, dan cakep! Dia juga mempunyai hati yang baik. Jarang-jarang, lho ada cowok seperti itu. Beruntunglah gadis yang mendapatkan cintanya.' Tony menatapku sambil tersenyum penuh arti. Aku buru-buru menghindari pandangan Tony. Lidahku terasa kelu. Aku merasa terpojok dan bersalah.
Sesaat suasana hening. Hujan sedikit mereda. Beberapa temanku ada yang nekat pulang menembus rintik hujan. Aku mengumpulkan hati untuk memecah kesunyian.
'Misalnya, Ton … misalnya, nih aku jadian dengan Neal, pasti akhirnya akan sama saja. Neal kembali ke negaranya dan meninggalkan aku sendirian. Aku nggak bisa mengisi hari dengan membayangkannya saja, kan? Aku pasti sangat membutuhkan kehadirannya disini, disampingku. Aku hanya bersikap realitas aja, Ton. Aku nggak bisa punya cowok yang jauh dariku. Disaat aku memerlukannya, dia jauh berada di belahan dunia lain dan aku nggak tahu apa yang sedang dilakukannya. Jadi, ada untungnya, kan aku belum pacaran dengan Neal?'
'Belum tentu, Nda,' jawab Tony. Hmm, Tony rupanya mengajakku berdebat.
'Mungkin aku nggak sehebat kamu kalau berargumen. Yang aku tahu, cinta itu sesuatu yang nggak bisa dijelaskan. Yang aku tahu, cinta itu mempunyai kekuatan untuk menyelimuti, menghangatimu dimanapun kamu berada. Andai kamu sekarang pacar Neal, kamu pasti nggak berada disini dengan tampang sendu menatap hujan. Tapi saat ini kamu pasti sedang berteriak kegirangan sambil berjalan di tengah rintik hujan. Karena cinta Neal akan menjadi 'payung’mu.'
Wow! Aku terkesima mendengar kata-kata Tony. Baru kali ini aku kehilangan kata-kata. Juara debat tingkat SMU se-Jakarta dikalahkan Tony yang tadinya menurutku, mungkin dalam kamus hidupnya hanya ada basket dan band! Ternyata …
'Tuh, hujan sudah reda. Aku duluan, yaaa …. mau latihan band, nih. Salam buat Neal, ya …' Tony nggak memberi kesempatan buatku berdalih. Aku menatap sosoknya dari belakang yang memang mirip Neal, kecuali warna rambutnya. Tiba-tiba aku rindu Neal. Rindu biru matanya, bau tubuhnya, rambutnya yang berwarna emas, candanya, … semuanya! Aku rindu menyamai langkah kaki Neal yang lebar nya dua kali langkah kakiku. Ugh, inginnya mengulangi lagi semuanya lagi.
Ah, Neal, … benarkah apa yang kau katakan di email semalam? Malam ini aku akan membalas e-mail Neal. Aku akan menyelesaikan semua keraguan, tanda tanya, dan kepura-puraan yang ternyata percuma dipertahankan. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan.
Lihat Neal… aku sekarang sedang tersenyum berjalan diantara rintik hujan. Rasanya ternyata sangat menyenangkan! Tubuhku memang basah, tapi hatiku tetap hangat. Terima kasih untuk payungnya, Neal.
-santie-

ps.
cerpen ini dimuat di majalah CINTA edisi 09 Januari 2004

Monday, November 03, 2003

CINTA ITU TANTANGAN



Siapa bilang cinta itu hanya akan bikin kita sedih dan sakit hati? Siapa juga yang bilang kalau cinta juga membuat kita nggak konsentrasi belajar? Ternyata malah sebaliknya, lho. Gara-gara jatuh cinta, aku jadi semangat belajar dan jadi aktif ikut kegiatan ekskul. Sebabnya? Steve, cowok yang sedang aku taksir ternyata super aktif! Bintang kelas, ketua OSIS, kapten basket, dan juara umum Jujutsu SMU tingkat Nasional! Belum cukup alasannya? O iya, dia juga cakep, karena dia juga model! Melupakannya? Oh, tidak. Justru aku tertantang untuk bisa mengalahkannya. Coba hitung berapa banyak cewek yang suka padanya? Lalu bandingkan berapa banyak yang mundur teratur karena tidak percaya diri. Lihat, lebih sedikit bukan sainganku?
Menurutku, mencintai juga butuh taktik. Aku percaya nggak semua orang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi aku nggak secantik model. Mungkin sulit sekali untuk jatuh cinta pada pandangan pertama denganku. Sebaliknya, mudah sekali mencintai Steve. Sekali pandang, 'tap’ ! Mungkin nggak terhitung cewek yang langsung klepek-klepek saat pertama kali bertemu dengannya.
Tapi tunggu dulu. Meskipun aku nggak secantik model yang sering nampang di majalah dan TV, aku juga mempunyai bakat. Menyanyi ! Aku juga jago bikin puisi. Kerap puisiku dimuat di majalah remaja. Lebih dari lima buah piala lomba menyanyi menghiasi kamarku. So, aku punya alasan untuk terus maju, bukan?

Sore itu jadual Steve latihan basket. Aku tiba di lapangan paling awal. Untuk apa? Aku nggak pernah melewatkan kesempatan melihat Steve latihan basket, meski aku ada di bangku urutan paling belakang. Apalagi sebentar lagi ada turnamen basket se DKI. Meski Steve nggak menyadari keberadaanku, aku nggak perduli. Aku hanya ingin selalu ada untuk menyemangatinya. Sia-sia? Tidak juga. Buktinya Steve selalu mencetak poin setiap kali aku menungguinya latihan atau bertanding !
Lihat disana, di antara pemain lainnya, Steve paling menonjol dan paling banyak mendapat dukungan. Lihat caranya tersenyum … (aku nggak bakalan melupakan senyum khasnya itu!). Hmm, aku memang nggak salah pilih!
Sudah 3 bulan sejak aku jadi anak baru di sekolah ini, belum sekali pun aku punya kesempatan untuk bicara dengannya. Padahal kami sekelas. Aku nggak mau langsung deketin dia dengan alasan yang dibuat-buat. Tidak, itu bukan tugasku. Steve lah yang harusnya mendatangiku. Sabar, begitu ujar batinku setiap kali kelebatan bayangan Steve menarik-narik mataku. Hingga suatu hari …
'Tiara, kan namamu?' aku melonjak kaget. Angin apa yang membuat sosok menawan ini mengajakku bicara? Aku mengangguk gugup.
'Band kami sedang butuh penyanyi. Aku dengar kamu punya suara yang bagus. Kamu bersedia ikut audisi kecil kami besok?' mata cokelatnya berpendar. Steve juga anak band? Wow!
'Gini,' Steve mendekatkan tubuhnya. Aku mencium harum segar karisma yang sekarang di depan mataku. Jangan sia-siakan, Ra …suara bijaksana berbisik di telingaku.
'Baru sebulan ini aku dan beberapa teman yang suka musik membentuk band. Namanya FISH Band,' Steve berhenti sejenak. Aku geli mendengar nama band-nya. Steve tersenyum.
'Namanya aneh, ya? Hehehee … idenya, sih karena semua anggota band kami berbintang Pisces. Aku main drum. Kebetulan penyanyinya belum ada. Ada beberapa calon, salah satunya kamu. Dari beberapa calon itu, kamu calon terkuat. Soalnya setelah aku periksa datamu, ternyata bintang kamu Pisces juga, ya? Itu yang kami cari! Taruhannya ganti nama band, nih kalau misalnya penyanyinya berbintang lain. So, kamu bersedia, kan datang ke tempat ini besok sore?' Steve mengangsurkan selembar kertas bertuliskan alamat. Aku bengong.
'Sst, katanya kalau diam itu berarti ‘iya’ . Jangan telat, yaaa …,' dengan santai Steve berlalu. Hah? Apa yang terjadi barusan? Mimpikah? Aku mencubit lenganku. Sakit! Terima kasih, Tuhan ... karena telah mengijinkan bunda melahirkanku dengan bintang Pisces hihihii …

Untung bunda mengijinkan aku pergi, syukurku dalam hati sambil merapikan t-shirt biruku. Nggak usah dandan berlebihan. Kalau memang Steve menyukaiku, sebaiknya ia menyukai apa yang ‘di dalam’, bukan apa yang tampak dari luar, ujarku bijaksana. Pemikiran seperti ini nggak aku dapat begitu saja, lho. Itu hasil dari hobiku membaca buku ‘bijaksana’ macam serial Chicken Soup. Yup, selesai! Aku mematut di depan cermin sekali lagi.
'Tiara, turun, dong. Dicari temenmu, nih!' suara Bunda dari bawah mengagetkanku. Aduh, pasti Rani mau pinjem pe er lagi. Gawat, nih …kalau sampai ketahuan, besok bisa jadi bahan gosip di sekolah. Aku kelabakan. Tapi udah terlanjur, mau gimana lagi? Aku memutuskan turun ke ruang tamu.
Deg! Jantungku hampir lepas dan berhenti berdenyut. Steve!
'Sore Ra,' Steve berdiri ketika melihatku. Aku gugup.
'Aku takut kamu nggak jadi datang, makanya aku cari alamat rumahmu dan menjemputmu,' katanya sopan menjawab keherananku. Oh, my Godness! Untuk beberapa saat aku speechless!
'Yuk, berangkat sekarang,' ajaknya sambil tersenyum manis. Pasti mukaku merona merah saat itu. Akhirnya setelah pamit, aku nurut saja waktu Steve membimbingku masuk ke VW kuningnya.
Audisi berjalan mulus. Aku resmi jadi vokalis band mereka. Jadi, apa alasanku untuk mundur sekarang? Nggak ada bukan? Aku pulang dengan senyum penuh kemenangan!

Ngobrol, jalan, dan dekat dengan Steve yang dulu merupakan impianku setiap malam, kini menjadi sesuatu yang biasa. Aku kini bebas berlama-lama mengamati wajahnya, menyelami matanya, dan tanpa ragu berjalan disampingnya. Hal ini tentu saja membuat iri teman-teman cewekku yang lain. Setiap Selasa, Kamis, dan Jumat, Steve dan anggota band lainnya seperti Ario, Hari, Nde, dan Indra, kerap menungguiku pulang sekolah, menjemputku latihan band, lalu mengantarku pulang. Tapi sepertinya itu nggak cukup untuk bisa dikatakan kalau aku telah merebut hati Steve. Kabar bagusnya, Steve belum punya pacar! Itu fakta yang aku dapat selama dua bulan bergaul dengannya. Tapi dua bulan bukan waktu yang cukup untuk mengenal seseorang, apalagi memasrahkan hati padanya.
'Pacar Steve sedang sekolah di Amrik,' ujar Ario, pemain bass band kami, santai. Ario pasti nggak tahu kalau ucapannya itu langsung membuatku jatuh ke jurang yang gelap. Antara percaya dan tidak percaya aku memilih mempercayai Ario. Ibaratnya, Ario adalah tangan kanan Steve, begitu juga sebaliknya. Sore itu aku pulang dengan hati yang patah!

Nggak enak badan, itu alasanku menolak latihan band dua hari kemudian. Sepertinya aku perlu waktu untuk menerima kenyataan, kalau aku mencintai pacar orang lain. Itu tidak ada dalam kamusku. Sst, itu juga etika sesama wanita, menurutku. Aku harus tahu kapan waktunya maju dan kapan harus mundur. Aku memang selalu memberi batasan pada sikapku.. Biar aku tumbuh menjadi wanita berprinsip, begitu nasehat bundaku. Aku pikir nggak ada salahnya, meskipun hatiku harus hancur karenanya. Jadi, dengan menguatkan hati, aku mengintip wajah kecewa Steve dan Ario yang menjemputku sore itu.
Besoknya waktu istirahat, Steve menghampiriku yang sendirian di kelas. Sungguh, saat itu aku nggak siap!
'Udah baikan, Ra?' suara khas Steve mengagetkanku. Aku menatap matanya sekilas dan berusaha tersenyum. Steve diam sejenak.
'Kamu tahu apa yang aku suka dari dirimu?' aku menggeleng campur heran. Nggak biasanya Steve mengatakan hal-hal seperti ini.
'Kamu penuh bakat, mandiri, dan tidak cengeng! Satu lagi, kamu selalu tersenyum. Jadi, aku nggak tahu apakah kamu sedang sedih atau senang saat ini, karena kamu selalu tersenyum. Dan jujur, aku sangat menyukai senyummu, Ra.' Aku tercengang. Steve selama ini mengamatiku! Bias malu melingkupiku. Nggak setiap hari aku mendapat pujian seperti ini, apalagi keluar dari mulut cowok yang selama ini menjadi pangeran di hatiku. Aku nggak boleh sedih, tekadku. Meskipun aku tahu kalau ucapan Steve hanya untuk menghiburku, tak lebih. Steve nggak mau melihatku mundur, apalagi kompetisi band yang diadakan salah satu radio gaul di Jakarta tinggal seminggu lagi. Aku melakukannya untuk Steve, kali ini murni karena aku menghormati dan mengagumi pemikirannya. Plus, karena aku ingin menunjukkan kalau Tiara memang gadis yang mandiri dan berbakat seperti perkiraannya. Semangat itu kembali memenuhi hatiku!

Hari ini kompetisi band itu! Sekitar 30 band peserta dan diantaranya sudah terkenal. Minder? Rasa itu pasti ada, karena band FISH adalah band baru. Umurnya saja baru jalan 4 bulan. Tapi Steve mempunyai kekuatan untuk membuat kami yakin dan bebas menunjukkan kebisaan kami yang sudah diasah hanya dalam waktu yang singkat itu.
Aku memandang pangeranku yang kelihatan sangat tampan hari ini dengan jeans dan t-shirt hitamnya. Dia berpaling dan sialnya, aku nggak punya cukup waktu untuk menghindar. Baru kali ini aku kepergok sedang menatapnya. Steve tersenyum. Aku membalasnya sambil menyimpan rasa perih di dada, mengingat senyum itu pasti nggak sepenuhnya khusus untukku. Gadis itu, yang katanya sedang sekolah di Amrik lah yang memilikinya. Aih, pahitnya!
Setelah band yang sekarang tampak sedang manggung itu, band kami peserta selanjutnya. Masing-masing dari kami melakukan pemanasan setelah berdo’a bersama. Apapun nanti hasilnya, menang atau kalah, kami bertekad memberikan yang terbaik. Berdo’a selesai.
Aku menatap penonton dari balik tirai panggung. Wow … berapa ribu orang yang menonton kami? Ario ikut mengintip di sebelahku.
'Ra, kamu sering-sering ngobrol sama Steve, deh!' aku kaget. Mengapa Ario berkata seperti itu? tatapku heran.
'Steve baru saja putus sama pacarnya. Katanya, sih pacarnya punya cowok baru disana. Kamu, kan satu-satunya cewek yang dekat dengannya. Tolong dong, ajak dia bicara. Jangan sampai masalah itu mengganggu pikirannya. Jujur aja Ra, tanpa Steve, band ini nggak hidup, deh.' Aku menatap mata Ario. Apa-apaan ini? Aku ingin memukulnya karena mengatakan hal seperti pada saat aku bersama anggota band lainnya harus manggung. Tapi disisi hatiku yang lain, aku sangat gembira. Berarti aku masih punya kesempatan mendekati Steve tanpa menyakiti orang lain. Semangat itu … tiba-tiba bergelora. Aku menatap Steve yang siap-siap naik ke atas panggung. Steve balas menatapku. Ada sesuatu yang berpendar disana, sesuatu yang lama aku cari. Dengan penuh keyakinan, aku mengikutinya, mengambil mike, menyanyi, dan memberikan kemenangan untuknya. Steve, cinta itu selalu menang!
::santie::

Sunday, November 02, 2003

SAAT RULLY JATUH CINTA



"Tambahkan dia kacamata, aku mungkin akan jatuh cinta!"

"Kenapa sih, kamu suka banget cowok berkacamata?" sentil Ririn. Rully belagak nggak dengar. Ekor matanya masih mengikuti cowok keren berkacamata yang barusan lewat. Setelah cowok itu hilang di tikungan, baru ia membagi perhatiannya buat Ririn, sahabat tercintanya.
"Barusan nanya apa?" tanya Rully pura-pura bego. Ririn hanya mendengus kesal sambil memainkan ujung rambutnya. Dua orang sahabat ini setiap hari pulang dan berangkat sekolah selalu bersama-sama. Selain karena rumah mereka hanya terpisah dua blok, dari TK sampai kelas 2 SMU, Ririn dan Rully selalu sekelas. Saking dekatnya, teman-teman mereka sering salah panggil. Bahkan ada yang menyangka mereka saudara, dan..kembar! Yang terakhir ini sering membuat mereka geli. Bagaimana bisa? Begitu tanggapan mereka sambil saling memandang lalu dilanjutkan acara mematut di depan cermin bersama. Tinggi dan berat tubuh mereka memang hampir sama. Tapi kalau dibandingkan dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki akan terlihat jelas perbedaannya. Dimulai dari atas, alias rambut. Rambut Rully ikal sedangkan rambut Ririn lurus. Muka jelas berbeda karena ‘pabrik’nya juga berbeda. Dengan 2 fakta ini saja sudah cukup dijadikan alasan untuk menyangkal tuduhan mereka. Bagaimana mungkin bisa tersebar gosip kalau mereka anak kembar? Apalagi kalau ditanya soal selera cowok. Syarat utama untuk jadi cowok Rully adalah harus berkacamata, biarpun cakepnya selangit kalau tidak berkacamata,… hmm, nggak akan mendapat perhatian Rully secuilpun. Sedangkan Ririn tidak tertarik dengan cowok berkacamata. Menurutnya, kacamata justru menutupi kegantengan cowok itu sendiri.
Rully seorang gadis yang manis. Ia mempunyai mata yang indah dan senyum menawan. Tak sedikit cowok yang mendekatinya. Bahkan Ririn secara diam-diam mendaftarkan Rully ikut pemilihan Gadis Sampul di majalah Gadis. Untuk itu, Ririn sudah siap menghadapi amukan sahabatnya kalau ternyata Rully masuk semi finalis dan foto Rully dilihat orang se-Indonesia!
Mengapa Rully suka cowok berkacamata? Sebenarnya alasannya sangat bodoh, itu pendapat Ririn. Rully fans setianya Superman, tokoh manusia super rekaan Jerry Siegel dan Joe Shuster. Berbagai pernak-pernik dan poster Superman memenuhi kamarnya. Menurutnya, cowok cakep dan mempunyai kekuatan super ini juga ada di bumi. Salah satu cirinya, ya, berkacamata, seperti Clark Kent. Itulah alasan Rully mengapa kacamata adalah syarat utama menjadi cowoknya (diantara syarat-syarat lainnya tentunya).
Ada, sih, cowok yang berkacamata di kelas. Namanya Tony. Tapi Tony cowok cabi, ciri kedua cowok yang tidak disukai Rully. Ada lagi Deny anak Fisika 2. Sudah keren, kaya… berkacamata lagi! Diperkuat tanda-tanda sepertinya Deny ada perhatian sama Rully. Tapi ketika ‘calon’ ini diajuin, eh..Rully malah berang. Katanya biarpun cakep, Deny, tuh, suka nggampangin cewek dan tidak cerdas, ciri ketiga cowok yang tak disukai Rully. Pokoknya bikin Ririn pusing, karena sahabat tercintanya ini sampai sekarang belum punya pacar lantaran semua calon tidak memenuhi syarat. Jadi Rully sampai sekarang nggak punya pacar bukannya nggak laku lho, begitu bela Ririn di depan teman-temannya yang curiga kenapa Rully masih saja jomblo sampai sekarang.

Siang itu saat Ririn mau berangkat sekolah, Rully sudah siap menunggunya di depan pagar rumah. Hari itu mereka masuk siang, gantian dengan kelas 1.
“Tumben nyamperin?” sapa Ririn sambil menutup pintu gerbang rumahnya. Rully hanya senyum-senyum kecil. Mereka berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak 2 km dari rumah Ririn.
“Kok malah cengar-cengir?” Ririn makin penasaran. Rully mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Ririn.
“Tadi malam aku bermimpi ketemu Su…” bisikan Rully menggantung. Secara reflek ia mendorong Ririn menjauh dan dalam waktu bersamaan kepalanya melengak ke kiri menghindari bayangan hitam yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ternyata bola basket! Untung saja naluri taekwondo-nya tajam dan membuatnya terhindar dari bahaya yang tiba-tiba datang.
“Maaf, ya…” seorang cowok berkostum olahraga dengan nafas tersengal berlari menghampiri mereka, lalu mengambil bola basket yang bergulir di dekat kaki Rully. Menilik kostum yang dipakainya. pasti cowok ini anak kelas tiga yang sedang jam olahraga.
“Kamu nggak pa pa kan?” ada nada khawatir dalam suara bagus itu. Rully menggeleng sambil membantu Ririn berdiri. Saat matanya beralih ke cowok itu Rully jadi bengong. Baru disadarinya ternyata cowok itu cakep banget dan matanya…. baru kali ini Rully melihat mata seteduh itu. Ada sesuatu dalam mata cowok itu yang menarik-narik Rully untuk nggak mengalihkan pandangan.
“Eh, kamu anak kelas berapa sih, kok aku jarang lihat?” selidik Ririn sambil mengamati muka cowok itu yang berpeluh. Cakep juga, batin Ririn sambil melirik Rully yang masih bengong.
“Aku anak baru di kelas 3 Fisika 3. Baru kemarin pindah,” jawabnya kalem.
“Oh, pantesan. Kami anak kelas 2 Fisika 1. Kenalkan aku Ririn dan ini temanku, Rully,” ujar Ririn sambil mengangsurkan tangan dan menggamit lengan Rully agar melakukan tindakan sepertinya, ritual berkenalan.
“Andre,” jawab cowok itu sambil menyambut uluran tangan Ririn kemudian Rully. Rasa hangat tiba-tiba menjalar saat jari Andre menyentuh telapak tangannya. Rasa hangat itu merambat terus sampai ke hatinya, lalu naik ke kepala, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan terakhir kakinya! Tak sengaja mata Rully bertemu mata Andre. Sekali lagi rasa hangat itu melingkupinya. Rully nggak tahu apa yang Ririn dan Andre obrolkan kemudian karena ia sibuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.

Sejak itu Rully jadi pendiam. Ririn yang setiap hari bersamanya jadi nggak tahan.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Ririn sambil melempari Rully dengan kacang goreng yang dibelinya di kantin. Akhir-akhir ini Rully jadi rajin ke perpustakaan, hal yang jarang dilakukannya meskipun Rully selalu 3 besar di kelas. Rully hanya melempar senyum kecil lalu beranjak dan menggamit lengan Ririn, mengajaknya ke ruangan diskusi agar percakapan mereka nggak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain.
“Gimana sih rasanya jatuh cinta?” pertanyaan Rully membuat Ririn termangu. Menyesal tadi bertanya, rutuknya dalam hati.
“Kamu lagi jatuh cinta? Sejak kapan? Sama cowok berkacamata yang mana? Ketemu dimana, sih, kok nggak pernah cerita?” Ririn penasaran. Diberondong pertanyaan bertubi-tubi membuat Rully jengah. Belum sempat Rully menjawab, matanya menangkap satu sosok yang sangat dikenalnya tiba-tiba berkelebat melintasi mereka.
“Hai Rully, lagi diskusi apaan, nih?” sapa Andre dan berhenti tepat didepan Rully. Hanya meja kayu yang memisahkan keduanya. Rully terkesiap kaget dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Mukanya terasa panas. Rasa hangat itu kembali datang. Kini diiringi detak jantung yang kian kencang. Keringat dingin pun mulai keluar. Ririn menatap Rully yang salah tingkah. Ia heran melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya.
“Eh, Andre. Biasa…girls stuff-lah…” jawab Ririn sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Andre nggak mengganggu. Andre hanya terkekeh sambil meninggalkan senyum yang kemudian terpatri manis di relung hati Rully.
“Oi,… kamu suka Andre ya?” goda Ririn setelah Andre pergi. Debar itu telah reda sekarang.
“Kok kamu bisa ngomong gitu sih?” kilah Rully sambil memperbaiki duduknya.
“Habis mukamu merah kayak kepiting rebus waktu Andre tadi kesini,” jawab Ririn sambil tertawa. Rully merengut kesal.
“Nggak mungkin lah aku suka Andre,” bantah Rully.
“Lho, buktinya yang bisa bikin kamu kalang kabut seperti ini, kan, baru Andre. Belum pernah aku lihat kamu segrogi itu di depan cowok.”
“Tambahkan Andre kacamata, mungkin aku akan jatuh cinta,” kelakar Rully sedikit puitis.
“Rully..Rully… sebenarnya kamu nunggu siapa sih? Clark Kent nggak akan nyamper kesini, deh. Dia masih banyak tugas di dunianya sana. Dan kamu akan jomblo selamanya kalau nggak mau jujur dengan diri sendiri. Superman nggak hanya menyamar jadi cowok berkacamata saja. Mungkin memang Andre nggak bisa terbang seperti Superman. Tapi dia akan membuatmu mengenal dunia lain selain Planet Krypton, yang mungkin jauh lebih indah.” Panjang lebar Ririn menasihati sahabatnya.

“Rin,…Rully mana?” Andre tiba-tiba sudah menjajari langkahnya. Ririn tersenyum. Akhirnya nyamper juga, benak Ririn senang. Kemarin Andre hanya melihatnya dari kejauhan dengan pandangan bertanya-tanya melihat ia seharian tanpa Rully.
“Rully sakit,” jawabnya pendek sambil melirik muka cakep disebelahnya. Andre memperlambat langkahnya. Jelas sekali ia kaget mendengar kabar yang dibawanya.
“Sakit apa?” tanya Andre cepat. Raut muka cemas tergambar jelas di wajahnya. Ah Rully, kamu telah menyia-nyiakan cowok setampan dan sebaik ini, sesalnya dalam hati.
“Andre,…dengan perhatianmu itu, aku tahu kok kalau kamu naksir Rully. Lupain aja,deh. Rully nggak mungkin menerima kamu jadi cowoknya,” tutur Ririn hati-hati. Muka Andre memerah.
“Rully udah punya cowok, ya?” patah kini suara Andre. Ririn menggelengkan kepala.
“Rully suka cowok yang berkacamata, seperti Clark Kent,” jawab Ririn sambil berlalu meninggalkan Andre yang masih kebingungan. Ririn takut kalau masih bersama Andre akan tambah menyakiti hatinya.

“Lho, kok udah masuk, sih? Udah baikan, ya? Tahu gitu aku tadi mampir ke rumahmu,” sapa Ririn riang sambil meletakkan tasnya di bangku lalu duduk di sebelah Rully.
“Bosan di kamar terus. Lagian udah mendingan dan nggak pusing lagi. Banyak pe er ya?”jawab Rully masih dengan suara lemahnya. Ririn lalu mengeluarkan bukunya.
“Eh, Rin… bukankah itu Andre?” Tanya Rully sambil menunjuk lapangan olahraga melalui jendela kelas. Ririn mengikuti arah telunjuk tangan Rully. Tampak anak kelas 3 sedang latihan basket. Andre sedang mendribel bola dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tampak memegang sesuatu di wajahnya. Cara memegangnya seperti mencegah sesuatu itu agar tidak jatuh. Sepertinya kondisi ini membuatnya kesulitan bergerak bebas.
“Tapi…kok dia pakai kacamata, sih? Jadi kelihatan aneh, ya” gumam Rully pelan. Ririn malah bengong. Rully balik menatap Ririn.
“Jangan-jangan….” selidik Rully curiga.
“Hah? Aku?” Ririn tergagap. Memorinya terbang pada kejadian kemarin waktu Andre mendekatinya dan menanyakan keberadaan Rully.
“Oh, itu..kemarin. Aku cuma bilang kalau kamu suka cowok berkacamata.” Mata Rully terbelalak kaget.
“Eh, menurutmu Andre lebih cakep kalau berkacamata, ya? Kamu kan suka Andre dan sekarang dia berkacamata. Nah, kurang apa lagi?” goda Ririn diselingi cubitan Rully yang mampir ke pinggangnya. Dari kejauhan Andre melambaikan tangan ke arah mereka. Rully jadi salah tingkah. Ingin rasanya ia berteriak “Andre….copot kacamatamu. Kamu kelihatan jeleeeeek…!!!”

-written by santie-

(cerpen ini pernah dimuat di majalah Gadis, menjadi penghiburan saat saya sedang sakit.)