
Dua minggu menjelang lebaran.
Lebaran di rumah nenek? Huh, ke Sleman (: daerah dekat Yogya) lagi! Apa enaknya sih lebaran di kota sekecil itu? Enakan juga di Jakarta! Sungutku kesal.
“Kenapa sih harus kesana, ma?” protesku setelah ganti baju sepulang sekolah. Mama yang sedang masak buat buka puasa hanya tersenyum.
“Lebaran tahun kemarin kan kita nggak kesana. Nenek kangen kamu katanya,” jawab mama masih dengan senyum manisnya. Bau kolak pisang yang masih di kompor ‘dalam kekuasaan’ mama menggoda perutku. Tapi waktu buka masih 4 jam lagi!
“Hmmm, gimana kalau Tya nggak ikut?” ujarku lirih, takut mama kehilangan konsentrasi, lalu hancur, deh kolak pisang kesayanganku. Tapi mama cuma menoleh selintas lalu mengangkat panci kolak pisang yang sudah masak. Selesai sudah menu terakhir buka hari ini, kira-kira begitu raut muka mama kubaca. Sambil menaruh celemek ke tempatnya, ibundaku tersayang ini beranjak pindah ke ruang tengah. Aku menguntit dari belakang.
“Maaa…” aku sedikit merajuk, meskipun aku hapal kalau reaksinya seperti ini naga-naganya nggak bakalan dapat ijin.
Dengan tenang mama duduk di kursi sambil menyalakan tv yang memutar telenovela kesayangannya. Alamak, telenovela lagi!
“Kamu mau ditinggal sendirian, sementara mama, papa, dan dek Dimas pergi ke Sleman? Emang kamu berani?” ditantang seperti ini aku bungkam. Wah, kebayang juga seremnya di rumah sendirian. Dua minggu lagi! Tapi,… tiba-tiba ide nakal terbersit dalam benakku.
“Ma, tante Lusi kan nggak pergi ke Sleman. Tya di rumah tante Lusi aja ya...,” mama nggak menjawab. Kelihatannya mama makin larut dalam cerita telenovela yang ditontonnya. Aku masih memasang muka merajuk.
“Mama sih nggak melarang, asal kamu berani dan mau tanggung jawab sendiri.” Aku mengangguk mantap meyakinkannya.
“Ya udah, bilang Tante Lusi sana.” Akhirnya! Kata-kata itu keluar juga. Tanpa menunggu disuruh dua kali, aku langsung meraih telepon. Dan ending-nya bisa ditebak: lebaran aku nggak usah ke Sleman! Dengan wajah berseri-seri aku mencium kedua belah pipi Mama.
Seminggu menjelang lebaran
Aku ikut membantu mama beres-beres untuk keperluan ke Sleman. Wah, banyak banget bawaannya.
“Ma, buat apa sih bawa baju dan makanan sebanyak ini?” sungutku kesal sambil memasukkan baju-baju mungil itu ke dalam tas.
“Baju-baju itu buat sepupumu. Kan, banyak yang masih kecil-kecil.” Aku mengangguk. Padahal aku nggak ngerti maksud mama. Bukankah sepupuku juga punya orangtua yang bisa beliin baju?
Kalau papa lain lagi yang dibawa.
“Masak papan catur juga dibawa sih?”ujarku keheranan.
“Buat main catur sama om-mu,” dengan entengnya papa menjawab sambil memasukkan papan catur ke mobil. Aku lihat dek Dimas juga asyik memasukkan mainannya ke bagasi mobil.
“Lho, kok kayak mau ngungsi aja, sih? Jangan-jangan nggak balik ke rumah lagi,” keluhku ketakutan. Papa mengacak-acak rambutku.
Setelah semua siap, aku mengantar mereka sampai ke pagar.
“Hati-hati ya,” pesan mama sambil mencium keningku.
“Tenang, ma. Tya udah gede kok,” ujarku yang ditanggapi dengan selorohan kompak mereka. Wah, kok ada yang beda, ya rasanya, batinku sambil membalas lambaian tangan mereka. Ah, peduli amat. Yang penting aku nggak usah melewatkan lebaran di Sleman! Cabut ke rumah tante Lusi ah, putusku sambil merapikan tas pakaian.
Lima hari menjelang lebaran
Rumah Tante Lusi memang besar dan mewah. Mungkin 2 kali lebih besar dari rumahku. Tapi penghuninya termasuk sedikit untuk ukuran rumah sebesar itu. Bayangkan saja, penghuninya hanya Om dan Tante Lusi, ditambah 4 orang pembantu, 2 sopir pribadi, dan seorang satpam.
“Ndoro putri dan kakung udah berangkat ke kantor dari tadi,” jawab Yu Mirah dengan logat jawanya yang masih kental, waktu aku tanya keberadaan tante dan om. Pantesan baru jam 08.00 WIB aja udah sepi.
“Eh Yu, makanan disini enak-enak ya. Siapa sih yang masak?” pujiku tulus. Sejak nginap disini, setiap buka puasa dan sahur aku sering makan sendirian. Untung masakannya enak.
“Fitri,” jawab Yu Mirah sambil menyusun belanjaan di lemari es.
“Fitri yang mana?” Aku mengernyitkan dahi.
“Yang bertugas masak. Itu lho, yang seumuran njenengan,” tau ah! Emang aku pikirin…
Hmm, pagi-pagi enaknya ngapain ya? Santai di kolam renang, ah sambil menikmati sinar matahari pagi yang banyak vitamin D-nya. Kalau saja rumahku sebesar dan seapik rumah tante Lusi, pasti aku betah di rumah, batinku sambil bersandar di kursi malas dekat kolam renang. Semua ada. Semua dilayani. Apalagi yang kurang? What a wonderful life…
Tiga hari menjelang lebaran
Udah beberapa hari di rumah Tante Lusi, tapi bisa dihitung dengan jari berapa kali aku ketemu Om maupun Tante. Mereka sibuk banget. Pagi udah berangkat kerja, pulangnya larut malam setelah aku tidur. Sama aja di rumah sendirian, dong. Jadi kangen nih sama mama… Kalau tahu bakalan seperti ini, mendingan aku ikut ke Sleman! rutukku dalam hati.
Eh, tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan yang ditahan. Siapa yang iseng menangis jam 10 malam gini? Kayaknya, sih dari kamar belakang. Aku berjingkat mendekat.
Rupanya Yu Mirah sedang bersama seorang gadis seumuranku. Mungkin ia yang dimaksud dengan Fitri yang jago masak itu. Aku merapat ke tembok, takut bayanganku ketahuan mereka. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan Fitri menangis.
“Sudahlah, nduk. Jangan nangis lagi..” bujuk Yu Mirah.
“Tapi Fitri pengen pulang, mbok. Fitri pengen ngumpul bareng keluarga di desa, huk..huk..” aku semakin menajamkan pendengaranku.
“Lha, gimana lagi. Kowe kan ndak diijinkan pulang. Lha wong ndoro Putri aja ndak ke Jawa. Sabar…”
“Mbok, kalau nggak lebaran sih nggak masalah. Sudah setahun Fitri ndak pulang. Fitri kan kangen…huk...huk...” lalu sunyi. Sesekali terdengar suara isakan Fitri yang tersendat. Aku buru-buru balik ke kamar. Takut kalau terlalu lama bakalan ketahuan.
Di kamar aku masih mikirin kejadian tadi. Tante Lusi, kan orangnya baik. Tapi kenapa Fitri nggak diijinkan pulang kampung? Ah, mengapa tiba-tiba aku ikut sedih, ya? Selanjutnya aku tidak bisa tidur…
Dua hari menjelang lebaran
Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Dengan mengumpulkan keberanian, aku mengetuk pintu kamar tante Lusi.
“Eh, Tya. Masuk, yuk,” ajak Tante Lusi yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Tanteku ini memang cantik. Tapi tidak secantik mama, meskipun mama jarang dandan…hehehee…
Aku melihat sekeliling, lumayan luas dan lengkap. Ada home teaternya segala. Tapi kelihatannya Om sudah berangkat duluan. Kebetulan, nih.
“O iya Tan, kenapa tante nggak ikut lebaran ke Sleman?” tanyaku sambil mencoba tempat tidurnya. Nyaman!
“Karena Tante terlalu sibuk dan nggak bisa ninggalin pekerjaan, sayang,” jawab Tante sambil mencubit ujung hidungku. Enteng sekali jawabannya. Papa juga bekerja, tapi bisa lebaran ke Sleman, pikirku.
“Eh, Tan, Fitri tuh asalnya darimana, sih?” aku duduk sambil asyik mengamati Tante yang sibuk mematut diri di cermin besarnya. Tante melengak agak kaget mendengar pertanyaanku.
“Dari Yogya. Deket rumah nenek, tuh. Tapi mengapa kamu menanyakan hal itu?”
“Kenapa, sih dia nggak diijinin pulang?” aku tak memperdulikan pertanyaan tante.
“Ke Yogya sama siapa? Kalau ada yang nganterin sih nggak masalah. Yang tahu rumahnya hanya Yu Mirah dan Pak Kirno, sopir tante. Tapi keluarga mereka, kan disini dan tahun ini nggak mudik. Tante nggak tega membiarkan Fitri pulang sendirian. Apalagi sekarang udah mau lebaran, pasti sedang ramai-ramainya. Kamu lihat sendiri, kan di tv,” jelas tante Lusi. Wah, tanteku memang baik.
“Berarti kalau ada temennya, Fitri boleh pulang ke Yogya, dong?” kejarku. Tante tersenyum mengiyakan sambil melenggang mengambil tas kerjanya.
“Tan, Tya boleh minta tolong nggak?” cegatku di pintu.
Satu hari menjelang lebaran
Aku membuka mata. Wah, udah pagi! Jam 04.12 WIB, batinku sambil melirik jam tangan. Aku melihat ke samping. Fitri masih tertidur pulas. Ada senyum tersungging di bibirnya.
“Udah sampai mana, pak?” Pak Kirno, sopir pribadi tante Lusi yang mengantar kami ke Yogya, tampak terkantuk-kantuk menyetir di depan.
“Yogya, neng.” Akhirnya aku menghirup udara Yogya!
“Nganterin Fitri dulu, kan?” tanya Pak Kirno kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Sebentar lagi sampai Sleman. Wah, Mama pasti kaget. Apalagi melihat bawaanku: mukena untuk mama, baju koko untuk papa dan dek Dimas!
-santie-
(cerpen ini dimuat di majalah Gadis edisi Lebaran 2002)