Tuesday, October 28, 2003

F I T R I



Dua minggu menjelang lebaran.
Lebaran di rumah nenek? Huh, ke Sleman (: daerah dekat Yogya) lagi! Apa enaknya sih lebaran di kota sekecil itu? Enakan juga di Jakarta! Sungutku kesal.
“Kenapa sih harus kesana, ma?” protesku setelah ganti baju sepulang sekolah. Mama yang sedang masak buat buka puasa hanya tersenyum.
“Lebaran tahun kemarin kan kita nggak kesana. Nenek kangen kamu katanya,” jawab mama masih dengan senyum manisnya. Bau kolak pisang yang masih di kompor ‘dalam kekuasaan’ mama menggoda perutku. Tapi waktu buka masih 4 jam lagi!
“Hmmm, gimana kalau Tya nggak ikut?” ujarku lirih, takut mama kehilangan konsentrasi, lalu hancur, deh kolak pisang kesayanganku. Tapi mama cuma menoleh selintas lalu mengangkat panci kolak pisang yang sudah masak. Selesai sudah menu terakhir buka hari ini, kira-kira begitu raut muka mama kubaca. Sambil menaruh celemek ke tempatnya, ibundaku tersayang ini beranjak pindah ke ruang tengah. Aku menguntit dari belakang.
“Maaa…” aku sedikit merajuk, meskipun aku hapal kalau reaksinya seperti ini naga-naganya nggak bakalan dapat ijin.
Dengan tenang mama duduk di kursi sambil menyalakan tv yang memutar telenovela kesayangannya. Alamak, telenovela lagi!
“Kamu mau ditinggal sendirian, sementara mama, papa, dan dek Dimas pergi ke Sleman? Emang kamu berani?” ditantang seperti ini aku bungkam. Wah, kebayang juga seremnya di rumah sendirian. Dua minggu lagi! Tapi,… tiba-tiba ide nakal terbersit dalam benakku.
“Ma, tante Lusi kan nggak pergi ke Sleman. Tya di rumah tante Lusi aja ya...,” mama nggak menjawab. Kelihatannya mama makin larut dalam cerita telenovela yang ditontonnya. Aku masih memasang muka merajuk.
“Mama sih nggak melarang, asal kamu berani dan mau tanggung jawab sendiri.” Aku mengangguk mantap meyakinkannya.
“Ya udah, bilang Tante Lusi sana.” Akhirnya! Kata-kata itu keluar juga. Tanpa menunggu disuruh dua kali, aku langsung meraih telepon. Dan ending-nya bisa ditebak: lebaran aku nggak usah ke Sleman! Dengan wajah berseri-seri aku mencium kedua belah pipi Mama.

Seminggu menjelang lebaran
Aku ikut membantu mama beres-beres untuk keperluan ke Sleman. Wah, banyak banget bawaannya.
“Ma, buat apa sih bawa baju dan makanan sebanyak ini?” sungutku kesal sambil memasukkan baju-baju mungil itu ke dalam tas.
“Baju-baju itu buat sepupumu. Kan, banyak yang masih kecil-kecil.” Aku mengangguk. Padahal aku nggak ngerti maksud mama. Bukankah sepupuku juga punya orangtua yang bisa beliin baju?
Kalau papa lain lagi yang dibawa.
“Masak papan catur juga dibawa sih?”ujarku keheranan.
“Buat main catur sama om-mu,” dengan entengnya papa menjawab sambil memasukkan papan catur ke mobil. Aku lihat dek Dimas juga asyik memasukkan mainannya ke bagasi mobil.
“Lho, kok kayak mau ngungsi aja, sih? Jangan-jangan nggak balik ke rumah lagi,” keluhku ketakutan. Papa mengacak-acak rambutku.
Setelah semua siap, aku mengantar mereka sampai ke pagar.
“Hati-hati ya,” pesan mama sambil mencium keningku.
“Tenang, ma. Tya udah gede kok,” ujarku yang ditanggapi dengan selorohan kompak mereka. Wah, kok ada yang beda, ya rasanya, batinku sambil membalas lambaian tangan mereka. Ah, peduli amat. Yang penting aku nggak usah melewatkan lebaran di Sleman! Cabut ke rumah tante Lusi ah, putusku sambil merapikan tas pakaian.

Lima hari menjelang lebaran
Rumah Tante Lusi memang besar dan mewah. Mungkin 2 kali lebih besar dari rumahku. Tapi penghuninya termasuk sedikit untuk ukuran rumah sebesar itu. Bayangkan saja, penghuninya hanya Om dan Tante Lusi, ditambah 4 orang pembantu, 2 sopir pribadi, dan seorang satpam.
“Ndoro putri dan kakung udah berangkat ke kantor dari tadi,” jawab Yu Mirah dengan logat jawanya yang masih kental, waktu aku tanya keberadaan tante dan om. Pantesan baru jam 08.00 WIB aja udah sepi.
“Eh Yu, makanan disini enak-enak ya. Siapa sih yang masak?” pujiku tulus. Sejak nginap disini, setiap buka puasa dan sahur aku sering makan sendirian. Untung masakannya enak.
“Fitri,” jawab Yu Mirah sambil menyusun belanjaan di lemari es.
“Fitri yang mana?” Aku mengernyitkan dahi.
“Yang bertugas masak. Itu lho, yang seumuran njenengan,” tau ah! Emang aku pikirin…
Hmm, pagi-pagi enaknya ngapain ya? Santai di kolam renang, ah sambil menikmati sinar matahari pagi yang banyak vitamin D-nya. Kalau saja rumahku sebesar dan seapik rumah tante Lusi, pasti aku betah di rumah, batinku sambil bersandar di kursi malas dekat kolam renang. Semua ada. Semua dilayani. Apalagi yang kurang? What a wonderful life…

Tiga hari menjelang lebaran
Udah beberapa hari di rumah Tante Lusi, tapi bisa dihitung dengan jari berapa kali aku ketemu Om maupun Tante. Mereka sibuk banget. Pagi udah berangkat kerja, pulangnya larut malam setelah aku tidur. Sama aja di rumah sendirian, dong. Jadi kangen nih sama mama… Kalau tahu bakalan seperti ini, mendingan aku ikut ke Sleman! rutukku dalam hati.
Eh, tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan yang ditahan. Siapa yang iseng menangis jam 10 malam gini? Kayaknya, sih dari kamar belakang. Aku berjingkat mendekat.
Rupanya Yu Mirah sedang bersama seorang gadis seumuranku. Mungkin ia yang dimaksud dengan Fitri yang jago masak itu. Aku merapat ke tembok, takut bayanganku ketahuan mereka. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan Fitri menangis.
“Sudahlah, nduk. Jangan nangis lagi..” bujuk Yu Mirah.
“Tapi Fitri pengen pulang, mbok. Fitri pengen ngumpul bareng keluarga di desa, huk..huk..” aku semakin menajamkan pendengaranku.
“Lha, gimana lagi. Kowe kan ndak diijinkan pulang. Lha wong ndoro Putri aja ndak ke Jawa. Sabar…”
“Mbok, kalau nggak lebaran sih nggak masalah. Sudah setahun Fitri ndak pulang. Fitri kan kangen…huk...huk...” lalu sunyi. Sesekali terdengar suara isakan Fitri yang tersendat. Aku buru-buru balik ke kamar. Takut kalau terlalu lama bakalan ketahuan.
Di kamar aku masih mikirin kejadian tadi. Tante Lusi, kan orangnya baik. Tapi kenapa Fitri nggak diijinkan pulang kampung? Ah, mengapa tiba-tiba aku ikut sedih, ya? Selanjutnya aku tidak bisa tidur…

Dua hari menjelang lebaran
Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Dengan mengumpulkan keberanian, aku mengetuk pintu kamar tante Lusi.
“Eh, Tya. Masuk, yuk,” ajak Tante Lusi yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Tanteku ini memang cantik. Tapi tidak secantik mama, meskipun mama jarang dandan…hehehee…
Aku melihat sekeliling, lumayan luas dan lengkap. Ada home teaternya segala. Tapi kelihatannya Om sudah berangkat duluan. Kebetulan, nih.
“O iya Tan, kenapa tante nggak ikut lebaran ke Sleman?” tanyaku sambil mencoba tempat tidurnya. Nyaman!
“Karena Tante terlalu sibuk dan nggak bisa ninggalin pekerjaan, sayang,” jawab Tante sambil mencubit ujung hidungku. Enteng sekali jawabannya. Papa juga bekerja, tapi bisa lebaran ke Sleman, pikirku.
“Eh, Tan, Fitri tuh asalnya darimana, sih?” aku duduk sambil asyik mengamati Tante yang sibuk mematut diri di cermin besarnya. Tante melengak agak kaget mendengar pertanyaanku.
“Dari Yogya. Deket rumah nenek, tuh. Tapi mengapa kamu menanyakan hal itu?”
“Kenapa, sih dia nggak diijinin pulang?” aku tak memperdulikan pertanyaan tante.
“Ke Yogya sama siapa? Kalau ada yang nganterin sih nggak masalah. Yang tahu rumahnya hanya Yu Mirah dan Pak Kirno, sopir tante. Tapi keluarga mereka, kan disini dan tahun ini nggak mudik. Tante nggak tega membiarkan Fitri pulang sendirian. Apalagi sekarang udah mau lebaran, pasti sedang ramai-ramainya. Kamu lihat sendiri, kan di tv,” jelas tante Lusi. Wah, tanteku memang baik.
“Berarti kalau ada temennya, Fitri boleh pulang ke Yogya, dong?” kejarku. Tante tersenyum mengiyakan sambil melenggang mengambil tas kerjanya.
“Tan, Tya boleh minta tolong nggak?” cegatku di pintu.

Satu hari menjelang lebaran
Aku membuka mata. Wah, udah pagi! Jam 04.12 WIB, batinku sambil melirik jam tangan. Aku melihat ke samping. Fitri masih tertidur pulas. Ada senyum tersungging di bibirnya.
“Udah sampai mana, pak?” Pak Kirno, sopir pribadi tante Lusi yang mengantar kami ke Yogya, tampak terkantuk-kantuk menyetir di depan.
“Yogya, neng.” Akhirnya aku menghirup udara Yogya!
“Nganterin Fitri dulu, kan?” tanya Pak Kirno kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Sebentar lagi sampai Sleman. Wah, Mama pasti kaget. Apalagi melihat bawaanku: mukena untuk mama, baju koko untuk papa dan dek Dimas!
-santie-

(cerpen ini dimuat di majalah Gadis edisi Lebaran 2002)
RINDUKU, ELAINE..



Apapun bisa terjadi karena rindu yang penuh,
sepenuh rinduku saat menulis surat ini,
Yang kukabarkan melalui angin,
mengetuk setiap nurani,... berbisik lirih…
Bukalah pintu, Elaine…biar rinduku masuk.


Dear Elaine,…
Laine, ini Cly. Mungkin ini adalah artikel terpanjang yang pernah ada, atau lebih tepatnya artikel yang salah muat (hmm… kamu pasti tersenyum membacanya… ). Bukan. Ini adalah salah satu jalan yang kutempuh untuk menemukanmu.
Laine, udara kamar ini masih sama seperti sebulan yang lalu saat terakhir kamu disini. Dingin, dan sesekali angin nakal menusuk masuk melalui celah-celah jendela. Kamu ingat goresan dalam di dinding itu? Sekarang aku sedang memandanginya. Ingatkah kamu tentang goresan kenangan itu? Goresan itu kamu buat dengan bor 2 Maret setahun yang lalu. Aku tahu persis karena kamu selalu menuliskan tanggal di setiap goresan yang kamu buat. Kamu ingat tempat tidur kita? Hahahaa… semua penuh tulisan tanggal yang kamu anggap keramat.
O iya, tentang goresan di dinding itu biarkan aku menggambarkannya. Goresan itu tepat diatas tempat tidur kita,(bayangkan kita masih saja tidur seranjang!), dimana aku bisa melihatnya dengan jelas dari meja belajarku. Tidak begitu dalam menggores tembok tapi bisa ditebak bentuknya. Bentuk hati. Goresan itu kamu buat setelah menerima Martin menjadi kekasihmu. Martin memang tampan dan dia pantas bersanding denganmu, apalagi dia sepertimu, berdarah Perancis!
Kadang aku iri, Laine. Kamu sangat cantik. Rambut pirangmu bergelombang tidak berkesudahan. Aku selalu menatap diam-diam sambil mengusap rambut pendekku. Perih!
Bentuk tubuhmu pun sangat seksi, begitu komentar setiap orang yang bertemu denganmu. Dengan tinggi 178 dan berat 52 kamu bisa dengan mudah menjadi seorang model terkenal. Tapi kamu tidak mau, meskipun banyak agency menawari.
Walaupun kita hampir sama tingginya, namun kulitku tak semulus milikmu. Ya, kamu selalu lebih dari aku. Sayangnya aku sangat menyayangimu, dan semua rasa dengkiku tertelan begitu saja. Mungkin itu karena sejak usia 5 tahun kita tumbuh bersama. Aku pernah menanyakan, mengapa kamu tidak ke Perancis saja ikut Papamu, setelah mamamu, yang juga tanteku, meninggal dunia karena kanker. Aku mendapat jawaban yang tidak bisa lagi kubantah, karena kamu menjawabnya dengan tangisan! Mulai saat itu aku takut menanyakan hal yang sama. Tapi alasannya sekarang karena aku terlanjur menyayangimu dan takut kehilanganmu. Kamu satu-satunya saudara yang aku punya. Kamu tempat berbagi segalanya.
Aku pernah sekali marah padamu.
'Biarkan aku sendiri!' sengitku sambil menutupi tubuh dan mukaku dengan selimut, sepulang dari kuliah, 2 tahun yang lalu. Kamu tahu kebiasaanku kalau sedang marah, maka kamu tidak menggangguku dengan berondongan pertanyaan seperti yang biasa dilakukan mama. Lalu kamu membuat salad kesukaanku dan dengan sabar menungguiku terbangun dari tidur murkaku. Melihat senyum tulusmu aku luluh juga. Kamu pasti tidak tahu kenapa aku marah padamu saat itu. Kamu tidak pernah menanyakannya. Maka akan kukatakan sekarang.
Aku marah karena Rene bilang menyukaimu! Kamu tahu kan, sudah lama aku menaruh perhatian padanya. Aku mulai mengikuti semua kegiatan ekstranya. Dari basket, senat, sampai bela diri, semata-mata hanya agar dapat dekat dengannya. Aku berhasil menjadi teman dekatnya, dan dengan sedikit bantuan sang waktu aku bisa mendapatkannya. Rene mulai sering main ke rumah dan dengan suka cita aku mengenalkannya padamu. (Satu kesalahan besar aku buat!). Sejak itu Rene sering mendekatiku.
Lalu suatu ketika di boulevard kampus, Rene ‘menculikku’ darimu. Di pantai itu hanya kami berdua. Ah, aku masih ingat bau udaranya, merasakan sejuknya angin yang membelai kulit telanjangku tanpa balutan jaket, birunya air laut, dan wajah tirus Rene yang semakin jantan dengan anak rambut yang dipermainkan angin laut. Aku sangat bahagia. Sangat! Mungkin seperti perasaan Ellinor White yang dibujuk Frost dengan My butterfly-nya… (ingat, kan kalau kita selalu menyukai sajak Frost?).
Lalu di tengah suasana romantis itu, Rene memegang kedua bahuku, membuat diriku berhadapan dengan tubuhnya. Sekujur tubuhku bergetar sangat hebat dan detak jantungku…, ah, untung debur ombak itu bisa meredam dentumannya. Mata Rene teduh menatapku. Dia hanya sejengkal di depanku. Baru kali ini kami sedekat ini. Aku telah siap menerima satu anugerah indah (bahkan aku mulai merencanakan untuk menceritakan padamu setiba di rumah). Sungguh, aku sangat bahagia. Namun, badai itu datang terlalu cepat.
'Cly,' begitu lembut dia memanggil namaku. Aku menahan nafas untuk menikmati semuanya.
'Karena kamu saudara sejiwa Elaine, aku minta izin untuk mencintai Elaine,… ' duer! Ombak ganas laut itu menampar mukaku. Aku ingin laut menelan tubuhku saat itu juga. Suasana berubah seperti saat Frost dilahirkan, dingin dan mencekam. Aku membeku. Senyum Rene berubah menjadi seringai yang menakutkan. Wajah gagahnya hanyalah topeng. Benar-benar monster yang tak punya perasaan. Aku ingin marah padamu Laine,… sekaligus aku ingin menjadi dirimu, seseorang yang dicintai Rene. Itulah alasannya aku marah padamu. (Ah, lega rasanya… akhirnya aku bisa menceritakan ini padamu.)

Laine, kabut sepertinya mulai turun di luar. Aku begadang semalaman untuk menulis ini. Kamu tahu kabar mama sekarang? Beliau sekarat karena merindukanmu, seperti aku. Kamu adalah belahan jiwanya, karena sebelah jiwanya milikku. Tidakkah kamu merindukan kami? Martin? Dia juga kebingungan mencarimu. Aku tidak mengatakan sebabnya kamu pergi. Itu bukan hakku. Kamu yang harus mengatakan padanya. Meskipun dia mendesakku, aku bungkam. Aku setia padamu, seperti setianya Chloe pada Daphnis, setianya Daphnis pada liranya.
Kemarin Dokter Susilo mencarimu. Aku mencari alasan yang masuk akal agar dia percaya. Tidak mungkin aku mengatakan pada beliau keadaan yang sebenarnya. Kamu ingat anaknya, Galen? Dulu waktu kecil kita bertiga sering main bersama. Galen suka menarik-narik rambut ikalmu. Supaya lurus, katanya. Bahkan dia mengambil setrika untukmu. Untung mama bisa mencegahnya. Ah, apa jadinya bila Galen kecil itu berhasil menyetrika rambutmu,… hahahaa... tentu aku tidak akan iri setiap kali melihat rambutmu.
Tiga minggu yang lalu dia pulang dari study-nya di Perancis. Aku kaget waktu bertemu dengannya di ruangan Dokter Susilo. Dia sangat berubah. Dia sangat ‘attirante’ (:tampan)! Kami sama-sama tertegun. Tujuh tahun tidak saling berjumpa, aneh rasanya. Kamu ingat kan, setelah lulus SMP Galen pergi ke Perancis? Untung Dokter Susilo cepat datang.
'Kenapa kalian bengong? Galen, ingat Clytie?' Aneh, Galen seperti tidak mendengar kata-kata Papanya. Lalu Dokter Susilo menoleh padaku.
'Cly, ingat Galen, teman kecilmu? Anak Om?' aku baru tersadar. Dia adalah Galen, Galen kita! Aku tersipu, Galen pun tak kalah malunya. Lalu kami berjabat tangan, sangat kaku. Lalu pada Galenlah aku menceritakan semuanya. Maafkan aku, Laine. Karena aku mempunyai alasan. Pertama karena Galen putra Dokter Susilo dan cepat atau lambat dia akan mengetahui keadaanmu dari papanya. Kedua, dia adalah Galen kita. Tempat semua rahasia kecil pernah kita bagi bersama. Kamu mau tahu reaksinya?
'Aku kaget waktu dengar dari papa, Tie…' kata Galen waktu berkunjung kesekian kali ke rumah kita. Aku tersenyum. Titie, itu nama kecil pemberian Galen untukku. Dia selalu memanggilku dengan nama itu sejak kecil, bukan Cly seperti yang lainnya. Susah! Itu alasan Galen kecil kita saat itu.
'Ya. Semua orang juga tidak menduganya,' jawabku sambil meletakkan jus durian kesukaannya di meja. Ingat, kan kalau kita bertiga adalah penggemar jus durian dan Galen adalah yang nomer satu. Dia adalah ‘Pendekar Durian’, hahahaaa……, aku tidak tahu apakah dia masih bangga dengan julukan itu.
'Bagaimana bisa terlambat ketahuannya?' tanya Galen kemudian. Lihat… dia sangat mengkhawatirkanmu! Sekarang dia sedang memandangi foto kita berdua di dinding. Dia pasti sedang mengagumimu,lalu membandingkan diriku denganmu.
'Kamu tahu, kan sifat Elaine. Ia paling tidak suka kalau diajak ke dokter. Ketahuannya baru-baru saja waktu dia terus menerus mengeluh kesakitan dan menemukan benjolan di…‘itu’nya semakin membesar.' Galen tersenyum kecil, aku masih sungkan menyebutnya. Ya, kamu kena Kanker Payudara! Mungkin itu adalah hal yang paling di takutkan oleh wanita di belahan dunia manapun.
'Terus?” kejar Galen sambil meminum jusnya.
'Setelah dibujuk untuk periksa, baru benar-benar ketahuan kalau Elaine positif kena kanker payudara. Apa mungkin keturunan ya?'
'Mamanya Elaine?'tebak Galen cepat. Aku mengangguk. Kami sama-sama membisu.
Jus durian di meja tidak menarik seleranya lagi. Galen pun sepertinya enggan meminumnya. Kami sama-sama tenggelam dalam kesedihan. Semua karenamu, Laine.
'Itu sebabnya dia pergi, Tie?' lagi-lagi aku mengangguk. Tidak biasanya aku miskin suara seperti ini. Seharusnya kita bertiga disini, Laine… seperti 17 tahun yang lalu…
'Aku jadi ingat cerita dalam Facing the Music,' suara Galen memecah kesunyian.
'Larry Brown?' tanggapku tak percaya. Galen juga menyukai sastrawan seangkatan Frost, seperti kita!
'Kamu juga membacanya?' seru Galen tak kalah terkejutnya. Dia tidak tahu kalau kita pengagum sastrawan perancis. Tunggu saja kalau dia lihat koleksi buku kita. Sungutku kesal!
'Kenapa jadi cemberut,Tie?”
'Soalnya kamu sok Perancis. Lupa dengan Indonesia, ya?' Galen bukannya marah malah terkekeh.
'Tie sayang, biar seabad pun aku hidup di sana, aku tetap cinta Indonesia. Mau tahu sebabnya?'
'Apa?' tantangku.
'Karena di belahan dunia manapun, tidak akan ada dua Clytie…' aku tersipu. Apa ini? Galen mulai merayuku? Hah?!
'Tuh kan diam lagi. Aku paling suka lihat kamu tersipu seperti itu,' makin merah mukaku. Maafkan aku, Laine… saat itu aku melupakanmu. Galen kembali menumbuhkan benih-benih di hatiku, dan makin lama makin subur. Makin hari Galen makin dekat denganku dan kenangan masa kecil semakin membuat kami tak terpisahkan. Sampai suatu ketika dia mengatakan perasaannya padaku. Kali ini bukan di pantai seperti Rene. Galen mengajakku naik ke atas gedung tertinggi di kota ini! Gila bukan? Kata Galen itu satu-satunya tempat kita bisa merasa memiliki dunia. Galen benar. Aku memiliki dunia karena aku mendapatkan cintanya!
Sekarang kita dua pasang, Laine. Aku dengan Galen dan kamu dengan Martin… ah, indahnya. Aku membayangkan kita berjalan ke pelaminan bersama… dengan gaun putih yang panjang dan mawar kuning bertaburan di mana-mana. Kamu pasti sangat cantik Elaine, dan aku juga pasti tak kalah cantiknya. Lihat ada yang telah berubah dari diriku, bukan? Sekarang aku mulai bisa memuji diriku sendiri. Semua karena Galen mencintaiku…

Laine,… apakah kamu tidak ingin membuat impian ini menjadi nyata. Aku telah melihatmu tumbuh, aku juga ingin melihatmu menjadi wanita yang matang bersamaku. Apakah kamu lupa kalau kamu terikat dengan Martin? Kasihan dia kebingungan karena kamu menghilang, sedangkan pernikahanmu tinggal sebulan lagi. Pulanglah Elaine… aku ingin memperlihatkan cincin dari Galen yang sekarang melingkar di jari manisku. Minggu kemarin dia melamarku dan aku berjanji untuk menikahinya. Terlalu cepat? Tidak juga … itu karena Galen dan aku saling mencintai.
Kamu ingat anime Hatachi No Engage-nya Mashiba Hiromi (anime karya Mashiba Hiromi dari Jepang, yang menceritakan janji kanak-kanak tentang pernikahan)? Kita berdua sangat menyukainya. Tapi tahukah kamu Laine, aku mempunyai alasan yang lebih dalam. Tanpa sepengetahuanmu, sebelum Galen ke Perancis, kami berdua pernah berjanji. Jika masing-masing dari kami tidak menemukan pasangan sejiwa, dan kami dipertemukan kembali, lalu ternyata kami jatuh cinta, maka kami akan menikah. Kami kini menepatinya. Siapa yang menyangka kalau sumpah masa kecil itu sekarang menjadi nyata.

Laine, pulanglah. Aku mohon kembalilah! Kamu harus menghadapi semuanya. Kamu tidak sendirian, Laine. Banyak orang yang menyayangimu dan tidak ingin melihat kamu menjadi seorang pengecut. Kamu harus operasi secepatnya, agar kami tidak kehilangan kamu selamanya. Operasi itu bukan akhir segalanya, Laine!
Dengan atau tanpa payudara, kamu tetap wanita sejati, kamu tetap cantik. Kamu harus tetap bersinar terang, seperti makna namamu. Kamu sekarang tahu kan, mengapa Mamamu memberi nama Elaine? Ya, supaya kamu terus bersinar di dalam kegelapan, terutama di saat-saat seperti ini.
Kamu tahu apa yang selalu dibisikkan Galen padaku? Tu es belle (=Kamu cantik). Aku selalu merasa bersinar setiap mendengar kata itu. Aku tidak perduli lagi jika bertemu dengan wanita yang lebih cantik dariku, karena bagi Galen aku yang paling cantik, dan akulah satu-satunya bidadari yang tinggal di hatinya. Aku juga tidak perduli apapun pendapat orang terhadapmu. Tu es Belle… karena kamu cantik, Laine…, sangat cantik. Kamu selalu cantik di mataku, juga di mata Martin. Maaf, Martin telah mengetahui semuanya dari Dokter Susilo. Marahlah jika kamu ingin marah, tapi Martin bersumpah menerimamu apa adanya.
Katakan apa yang harus aku lakukan, Laine… supaya kamu mengerti kalau lari dari kenyataan bukanlah satu-satunya jalan. Larilah ke pelukanku Laine, dan kita hadapi semuanya bersama.
Laine,… jika kamu masih mencintai Martin… pulanglah. Dia selalu ziarah ke makam Mamamu setiap sore. Karena kamu tidak lagi mengunjungi beliau, dia yang menggantikanmu. Martin mencintaimu, sangat mencintaimu. Martin tidak perduli tentang Mastektomi (pengangkatan payudara) itu. Dia hanya perduli denganmu. Martin mencintai jiwamu, bukan hanya tubuhmu. Kamu harusnya merasa beruntung Laine,… seberuntung aku mendapatkan cinta Galen. Pulanglah Laine… kita sekarang dua pasang… berjalanlah bersamaku ke pelaminan.
Aku menunggumu, Laine…

::written by: santie::

ARTI NAMA PELAKU
Clytie: adaptasi dari bhs Yunani, yaitu bidadari yang mencintai Helios (Dewa matahari) yang kemudian mengubah dirinya menjadi bunga matahari yang selalu menghadapkan wajahnya ke arah matahari.
Elaine: adaptasi dari bhs Perancis,yang artinya bersinar terang
Martin: adaptasi dari bhs Inggris/Latin, yang berarti prajurit dari Mars.
Galen: adaptasi dari bhs Yunani, yang artinya tenang atau hening.
Rene: adaptasi dari bhs Perancis/Latin, yang artinya terbit kembali.
Frost: sastrawan perancis yang lahir th 1874 yang terkenal dengan sajak Vermont nya.
Cloe dan Daphnis = merupakan kisah dari Longus, ttg cinta suci gembala domba bernama Daphnis yang ditolak cintanya oleh Cloe, kemudian membuat lira dan terus menerus meniupnya untuk merayu Cloe, dan akhirnya Cloe menerima cintanya.
Larry Brown = sastrawan perancis yang menulis Facing The Music, kumpulan cerpen , yang salah satunya menceritakan berubahnya sepasang suami istri setelah payudara si wanita terpaksa diangkat.

(cerpen ini dimuat di Femina penghujung 2002)