BULAN BULAT PENUH DAN BERCAHAYA
Aku ingin punya anak.. aku ingin punya anak.. layar komputerku tiba-tiba penuh dengan tulisan itu. Seharusnya aku menyiapkan berkas pembelaan untuk kasus perebutan anak besok. Tapi entah kenapa kalimat itu yang keluar. Belakangan, hal inilah yang selalu menggayuti pikiranku. Bukan bayangan wajah Rein yang berlutut melamarku bulan kemarin. Aku belum ingin menikah, jawabku kemudian yang langsung meredupkan sinar mata Rein. Bukan, bukan itu. Tapi bayangan bayi, anak kecil yang mungil. Iya, anak.. anak.. dan anak..
Sebabnya, sih, sepele. Beberapa hari kemarin aku mengajukan cuti dan bertandang ke rumah Rossy, sahabat kentalku waktu kuliah yang setelah jadi sarjana langsung diboyong suaminya ke Yogya. Duh, lama sekali aku tidak berjumpa dengannya. Sekitar dua tahun setelah kami sama-sama lulus kuliah.
Pesawat yang membawaku dari Jakarta sampai di bandara Adi Sucipto jam 3 sore. Mataku mencari-cari kelebat sosok cantik Rossy diantara para penjemput. Rossy tidak bisa datang karena puteri mereka sedang rewel, begitu jelas mas Adi, suami Rossy yang bertugas menjemputku. Rossy memang beruntung mendapatkan mas Adi, kakak angkatan kami waktu kuliah di Jakarta. Sudah ganteng, pintar, baik, gemati, tanggung jawab, kaya pula, batinku sambil melirik mas Adi yang sedang menatap lurus ke depan konsentrasi nyetir. Jadi Rossy tidak perlu bersusah payah mencari pekerjaan seperti aku. Warisan perusahaan batik milik orangtua mas Adi sepertinya tidak akan habis untuk menghidupi sampai tujuh turunan. Ah, Rossy yang selalu beruntung!
Akhirnya kami tiba di halaman rumah yang besar penuh hiasan ukiran kayu. Sangat 'jawa' dan asri! Mas Adi membukakan pintu mobil. Angin sepoi-sepoi menyambutku. Sangat ramah, beda sekali dengan hawa di Jakarta. Mas Adi mengantar aku masuk setelah menyuruh pria setengah baya yang tadi membuka pagar membawa koperku ke dalam rumah.
Lin, anggaplah seperti rumah sendiri. Rossy sudah lama sekali ingin bertemu denganmu. Aku tak ingin mengganggu acara reuni kalian. Aku balik ke kantor dulu, ya, pamit mas Adi sambil masuk ke mobilnya lagi. Aku hanya menggangguk menyisakan senyum kagumku yang pernah kuberikan padanya sewaktu kami masih kuliah. Ah, dia pasti lupa.
Auline! Oh, suara itu dulu begitu akrab di telingaku. Aku menoleh sambil tersenyum. Tapi..
Heg! Aku kehabisan nafas saat sesosok tubuh gempal tiba-tiba mendekapku. Benarkah ini Rossy? Ternyata waktu tiga tahun mampu merubah primadona kampusku, hampir 360 derajat! Rossy yang cantik dan langsing kini berat badannya naik menjadi dua kali lipat. Tumpukan lemak di tubuhnya tidaklah seberapa dibandingkan caranya berdandan sekarang. Si modis nomer satu yang gaya dandannya susah payah aku tiru itu menyambutku dengan tubuh yang terbalut daster dan tanpa make up sedikitpun di wajahnya yang putih.
Aduh, kamu makin cantik saja, Rossy melepaskan pelukannya.
Kok malah bengong?Pipiku dicubitnya. Oh, Lord, sepertinya aku mendarat di tempat yang salah!
Nah ini kamarmu. Khusus aku tata sendiri untuk menyambutmu, Rossy tersenyum manis. Bahasa wajahnya tidak pernah berubah. Masih semanis dan secantik dulu.
Aih, indah sekali kamar ini pujiku tulus sambil berkeliling. Tempat tidurku tertutup bed cover dengan etnik batik yang segar. Ada jendela besar di samping yang memberiku pemandangan asri penuh bunga mawar yang sedang mekar. Rossy pintar sekali menata rumah, kagumku.
Kamu istirahat dulu ya. Itu kamar mandinya lengkap dengan handuk bersih. Pokoknya service hotel bintang 5, deh! canda Rossy membuatku makin yakin kalau ia memang Rossy yang dulu.
Suara tangis bayi lamat-lamat terdengar dari luar. Pasti itu anaknya.
Istirahat dulu, deh. Sudah saatnya Nissa minum susu.Rossy bergegas keluar kamar. Oh, Nissa nama anaknya. Nama yang sangat manis. Pasti secantik ibunya.
Badanku rasanya segar sekali setelah mandi berendam. Tak kelihatan letih di wajahku. Setelah menyapukan bedak dan lipstik tipis aku keluar kamar. Aku tak betah jika terkurung di ruang tertutup seperti ini. Aku tidak suka suasana yang sepi.
Suara tangisan Nissa tak lagi terdengar. Mungkin sedang tidur. Aku berjalan perlahan sambil mengamati setiap sudut ruangan. Itu dia Rossy di beranda. Aku menghampirinya. Astaga! Rossy sedang menyulam sambil duduk santai di kursi goyang. Benar-benar mengejutkan!
Hai sudah mandi?sapanya. Rossy meletakkan hasil sulaman di pangkuannya. Aku duduk di kursi kayu dekatnya. Sepertinya Rossy mengerti arti pandanganku.
Aku sedang bikin sweater buat Nissa. Lihat, hampir jadi kan?Rossy dengan bangganya memperlihatkan sweater mungil warna pink itu. Duh, imutnya..
Ah, dua tahun tak bertemu, kamu benar-benar mengejutkanku kataku. Rosy terkekeh.
Tubuhku ini atau hasil sulamanku? guraunya.
Biasa lah, namanya juga habis punya anak. Sebentar lagi juga langsing kembali,tambahnya.
Aku ingat, dulu waktu kuliah kamu selalu menghindari yang namanya memasak, menjahit, atau tetek bengek pekerjaan rumahan. But, look at you right now!
Waktu merubah segalanya, Lin. Cinta mas Adi dan peranku sebagai wanita, isteri, dan ibu. Terutama sejak kehadiran Annisa. Nissa adalah malaikat kecil kami. Setiap hari kami disuguhi keajaiban yang tak ada habis-habisnya wajah Rossy seperti bercahaya. Ah, aku tak mengerti maksudnya. Bagiku anak kecil ya hanya anak kecil. Bisanya menangis dan bikin berantakan saja.
Oh iya, bagaimana pekerjaanmu? Aku dengar kamu jadi pengacara terkenal. Auline Patricia, SH, si pengacara cantik yang tangguh, begitu media massa menyebutmu. Aku tak percaya waktu melihat wajahmu di televisi. Cita-citamu tercapai juga akhirnya. Kita berdua dulu mendamba kerja di kantor yang megah, menjadi pengacara terkenal. Kamu akhirnya yang mewujudkannya. Aku bangga menjadi sahabatmu,Rossy menyanjungku. Aku menunduk malu. Kini aku yang mendapat sanjungannya. Kemana perginya kebanggaanmu dulu, Ros?
Eh, mau membantuku memandikan Nissa? belum sempat aku menjawab, tangan Rossy sigap menggamit kelingkingku. Ah, rasanya seperti dulu. Rossy tidak suka menggandengku dengan cara yang biasa. Dia selalu mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya. Katanya ikatan seperti ini lebih kekal. Entahlah! Yang pasti aku sekarang disini. Dari semua teman kuliahku, sepertinya persahabatanku dengan Rossy lah yang paling awet.
Rossy membawaku ke kamar utama, sepertinya ini kamar mereka berdua. Lihat tempat tidur Rossy dan mas Adi. Di tempat inilah tentunya mereka menyulam malam dengan penuh kehangatan. Ah, mengapa dadaku terasa panas? Cemburukah? Bagaimana pun juga mas Adi adalah cinta pertamaku. Meskipun aku ikhlas saat melihat Rossy dan mas Adi berjalan di pelaminan. Aku patah hati, serentak bersama puluhan gadis yang memendam rasa serupa. Ah, luka lama..
Rossy menunjuk-nunjuk boks mungil dengan kelambu warna pink tak jauh dari tempat tidurnya. Aih, rupanya Nissa kecil bermain dengan boneka mungil yang digantung di atap boks bayi ini.
Nissa, bangun sayang. Tuh, tante Auline datang. Rossy mencium sayang pipi Nissa.
Kamu mau menggendongnya? tawar Rossy.
Ah, tidak. Aku takut melukainya, tolakku gemetar. Aku selalu enggan menyentuh bayi. Bayi selalu membuatku gugup dan takut.
Pelan saja, Rossy mengambil tanganku menyentuh pipi Nissa. Sesuatu yang hangat, empuk, dan lembut sejenak membuatku tak bisa berpijak.
Ah, tidak! Aku menarik tanganku dan mundur satu langkah ke belakang. Rossy memandangiku dengan aneh.
Maaf, aku tidak bermaksud.. kalimatku seperti tersekat di tenggorokan. Rossy hanya tersenyum sambil mengambil Nissa dalam gendongannya lalu membawanya ke kamar mandi mungil khusus untuknya. Aku hanya mengamatinya. Tangan Rossy demikian terampil mengusapkan air hangat ke tubuh Nissa. Pelan dan lembut. Mata Nissa mengerjap-ngerjap dengan lucunya. Tangan dan kaki mungilnya bergerak-gerak. Aku terpesona!
Malamnya aku tidak bisa memejamkan mata. Siluet Rossy dan mas Adi yang tak henti-hentinya bercerita tentang kelucuan Anissa mengusikku. Bayi itu memang sangat cantik. Wajar saja, bukankah orangtuanya 'bibit unggul' ? Mas Adi tampan dan Rossy cantik. Bisa dibayangkan jika keduanya 'berpadu', bukan? Bagaimana kalau Rein dan aku punya anak, ya? Aku cantik meski tak secantik Rossy. Dan Rein? Pria yang sangat menarik. Pria kedua yang mampu membuat hatiku lumpuh. Tapi sekarang, apakah Rein masih mau menerimaku? Ah, ada-ada saja. Malam ini aku tidur dengan muka tertutup bantal.
Lagi-lagi lengkingan tangisan Annisa membangunkan tidurku. Ini yang kedua kalinya. Jam 2 pagi? Hmm, bagaimana Rossy bisa tahan setiap malam harus bangun dan menenangkan anaknya yang menangis. Kasihan..
Aku berjingkat keluar. Kulihat Rossy sedang menggendong bayinya di beranda samping.
Nangis lagi? bisikku mendekat.
Pipis,jawabnya lembut takut mengagetkan Anissa yang sudah mulai tenang. Mas Adi mengambil Anissa dari gendongan Rossy.
Hari ini giliran mas Adi menenangkan Annisa kalau terbangun. Mas Adi besok berangkat tugas ke Surabaya selama seminggu. Kasihan, dia pasti kangen Anissa,jelas Rossy.
Sinar bulan jelas menerangi wajah Rossy. Cantiknya. Aku menunduk.
Lihat, bulan purnama! Dulu kita suka sekali melihatnya sampai pagi, kan? aku tergelak. Kenangan demi kenangan membanjir seperti membuka album poto lama. Kami berdua memang suka sekali melihat bulan purnama. Bulat penuh dan bercahaya. Sampai-sampai aku minta dibuatkan loteng agar bisa melihat dengan jelas jika bulan purnama datang. Aku selalu mengajak Rossy untuk menikmatinya ditemani makan makanan dan minuman ringan. Kini kami berdua kembali mengingatnya.
Bagaimana kabar loteng kita?
Masih ada. Tapi aku sekarang tinggal di apartemen. Jadi aku tak bisa minta dibuatkan loteng, kami berdua tertawa. Sudah lama kami tidak seperti ini.
Kenapa kamu belum menikah? tanya Rossy. Deg! Pertanyaan ini lagi.
Ups, sorry kalau kamu keberatan menjawabnya.
Aku benci pernikahan. Begitu rumit. Aku juga tidak suka ributnya anak-anak, jawabku.
Itu sebabnya kamu bersikap seperti tadi? aku mengangguk.
Kalau kamu tanya bagaimana pendapatku tentang pernikahan, akan kukatakan jika di dunia ini ada sorga, pernikahan itulah sorga dunia.Ah, sulit sekali mencerna kalimat Rossy..
Aduh, nangis lagi. Mataku sangat berat. Ah, baru jam 7 pagi. Aku dan Rossy tadi begadang sampai jam 4 pagi. Anissa kecil, tahukah kau, tante masih mengantuk? Aku mencari sumber suara tangisan itu.
Aduh, Lin. Untung kamu sudah bangun. Si mbok nggak masuk kerja, jadi aku harus masak. Tolong jaga Annisa, aku ke supermarket sebentar. Eh, Pak Jiman, tolong antar saya ke supermarket!Tanpa memberi kesempatan untuk menjawab, Rossy sudah keluar dan disambut pak Jiman, sopir pribadinya. Dalam hitungan detik, mobil yang membawa Rossy hilang di telan pintu pagar. Apa-apaan ini? Rutukku kesal. Daripada mengurus bayi aku lebih memilih berdebat dengan jaksa bertangan besi. Tak ada orang lain selain aku dan bayi ini. Apa yang harus ku lakukan?
Anissa masih menangis. Kudekatkan ujung botol susu ke mulutnya perlahan. Ah terdiam, aku lega. Tapi beberapa detik kemudian menangis lagi. Aku harus bagaimana ini? Aku panik. Anissa menolak botol susunya.
Dingin, ya? Tante hangatkan dulu, ya. buru-buru aku ke dapur. Mengambil baskom, mengisinya dengan campuran air dingin dan panas dari dispenser, lalu memasukkan botol susu tadi. Beberapa detik aku angkat. Hangat. Aku kembali ke boks Annisa. Tangisnya makin kencang. Ada apalagi? Mengapa kain yang ditidurinya basah? Ngompol, ya? Duh, kamu benar-benar mau ngerjain tante, ya? kataku kesal. Dimana lagi Rossy menyimpan kain pengganti dan celana bersih. Tidak mungkin aku masuk ke kamar pribadi Rossy. Aku memutar otak. Hmm, jemuran! Ah, benar. Untung ada yang kering. Dengan pengetahuan seadanya dan selembut mungkin aku mengganti kain pelapis dan celananya. Nah, kamu bisa tertawa sekarang ya? Merasa menang ya? Tanpa kusadari aku berdialog dengannya. Senangnya melihat bayi cantik ini tertawa dengan mulut mungilnya. Menggemaskan! Tangannya bergerak-gerak seperti ingin menggapai. Dengan memberanikan diri aku menyentuh tangannya dengan ujung jariku. Aku terkejut saat jemarinya reflek menggenggam erat jari telunjukku. Tiba-tiba ada sesuatu tumbuh hangat di dadaku. Lembut mengalir dan rasanya sangat menyenangkan. Entah kenapa aku tiba-tiba berani mendekatinya. Kini aku ingin mencium pipi gembilnya. Aku menikmati setiap kerjap bening matanya, gerak bibirnya, dan bau tubuhnya. Tuhan, apa yang terjadi?
Tak lama Rossy datang dengan kantong belanjaan.
Duh, maaf ya ngerepotin. Nissa rewel?sapa Rossy setelah meletakkan belanjaannya. Aku tersenyum.
Mungkin kangen dengan mamanya,jawabku dengan perasaan tak rela waktu Rossy menggendongnya. Anissa sepertinya menikmati buaian ibunya. Tiba-tiba aku rindu tangan mungil yang menggenggam erat jari telunjukku!
Tak terasa sudah tiga hari aku di rumah Rossy. Makin hari Annisa makin menggemaskan. Anehnya aku selalu berdoa moga-moga mbok Surni, tukang masak dan cuci Rossy, terlambat atau tidak masuk kerja. Supaya aku bisa berlama-lama bercanda dengan Anissa sementara Rossy masak. Dan anehnya doaku selalu terkabul. Kalau kemarin mbok Surni nggak bisa datang karena cucunya sakit, hari ini datang terlambat. Mau tak mau Rossy harus masak. Mengharap bantuanku memasak? Tak mungkin, karena aku tidak bisa memasak.
Kulihat Rossy kebingungan menenangkan Anissa.
Mau masak? Biar aku saja yang menggendong Anissa, ujarku pelan. Rossy menatapku tak percaya. Aku mengangguk, mantap. Ada kecipak senang di mata Rossy. Dengan lembut ia mengangsurkan tubuh mungil Anissa dan memberiku kursus kilat menggendong. Aku sendiri tak percaya saat bisa memeluk tubuh mungil ini berada dalam pelukanku.
Nissa, bisakah kau dengar detak jantung tante berdetak sangat cepat. Detaknya lebih cepat dibandingkan saat Om Rein mencium bibir tante untuk pertama kali. Tangan tante juga gemetaran. Tahukah kau, kau memang lebih menakutkan dari hakim killer yang menghunjam klien tante dengan vonis. Tapi kamu sangat lembut, selembut sutra yang biasa tante kenakan saat berkencan dengan Om Rein. Selembut ciuman Om Rein di kening tante setiap kali mengantar tante pulang. Kamu sangat cantik, Nissa, secantik dan selembut sinar bulan purnama..
Aku tergagap dari lamunan. Bunyi cerurit telepon genggamku membawaku kembali ke alam nyata. Nomer telepon genggam Rein berkedip-kedip di layar ponselku.
Auline, belum tidur? tanya Rein dari seberang.
Belum.
Coba buka jendela. Bulan purnama masih tersisa di langit. Aku beranjak membuka jendela, menatap ke angkasa. Iya, masih bulan purnama. Bulat penuh dan bercahaya.
Aku hanya ingin kamu melihatnya, Lin. Apakah kamu sudah melihatnya?
Aku mengiyakannya.
Sekarang kita berdua melihat ke arah yang sama, ujar Rein pelan. Ah, Rein selalu romantis. Bikin rindu saja…
Akhirnya kamu mau bicara denganku lagi. Aku kira kamu marah dan membenciku, jawabku pelan.
Setelah kamu menolak pinanganku? Seharusnya iya. Tapi aku masih sangat mencintaimu. Aku hanya butuh waktu untuk mencerna hubungan kita. Aku pikir semuanya sudah siap. Ternyata aku salah. Aku pikir kamu mencintaiku.
Iya, aku mencintaimu.
Tapi kamu tidak mau menikah denganku.Tandasnya.
Aku ingin sekali punya anak.. entah darimana asalnya kalimat ini mengalir begitu saja. Aku tercekat. Mataku menatap nanar sinar bulan. Sinarnya jatuh seperti memelukku.
Anak ? nada suara Rein meninggi tak percaya. Terlanjur sudah..
Iya, anak. Aku ingin sekali punya anak. Tapi aku tidak ingin menikah.Aku mulai tergugu. Bagaimana bisa aku selemah ini?
Kamu kenapa, Lin? Apa aku tidak salah dengar?
Tidak.
Kamu ingin punya anak?
Iya.
Tapi kamu tidak ingin menikah?
Iya.
Apa kamu ingin mempunyai anak tanpa ayah?
Tidak.
Jadi kamu ingin punya anak yang mempunyai ayah?
Iya.
Kamu ingin mengadopsi anak?
Tidak.
Kamu ingin anakmu sendiri?
Iya.
Melahirkan anakmu sendiri?
Iya.
Jadi kamu ingin punya anak yang juga mempunyai ayah. Berarti kamu harus menikah dulu agar anakmu mempunyai ayah. Aku terdiam. Hening. Rein menunggu.
Kalau begitu aku ingin menikah, putusku mantap.
written by santie
(2 : little GG)
Monday, February 09, 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)