Sunday, December 07, 2003

TERIMA KASIH PAYUNGNYA, NEAL



'Aku rindu, Nda. Aku rindu semua tentangmu. Perasaan ini semakin menggila dan seperti penyakit saja. Aku harap saat ini aku adalah Superman, maka bisa kubawa diriku terbang ke tempatmu. Stupid, ya?'
Aku menuntaskan membaca kalimat terakhir e-mail Neal yang agak lain dari biasanya, malam ini. Ah, Neal. Kata-katamu sulit kumengerti. Apa sebenarnya yang ingin kau ungkapkan? Aku mengambil nafas panjang. Aku urung membalas e-mail Neal. Aku takut salah mengartikan kalimatnya. Beri aku waktu dua atau tiga hari, putusku sambil mematikan komputer dan siap-siap tidur. Setiap kalimat di email Neal terngiang-ngiang di telingaku. Duh, kenapa sulit sekali memejamkan mata? Ah, malam ini akan menjadi sangat panjang ...

'Gimana kabar, Neal?' tanya Andin waktu aku papasan dengannya di kelas. Aku mengangkat bahu. Hanya mengangkat bahu tanpa sepatah kata. Reaksi yang sama kuberikan setiapkali teman-teman yang lain menanyakan kabar Neal hari ini. Lihat Neal, semua merindukanmu. Tapi entah kenapa aku enggan membicarakanmu. Biasanya setiapkali e-mail mu datang, aku langsung berbagi cerita dengan mereka. Teman-teman band-mu dulu masih suka meneleponku untuk menanyakan perkembanganmu disana. Mereka masih menyayangimu. Begitu pula … aku.
Aku menatap taman samping sekolah dari balik jendela kaca kelas. Sebenarnya sekarang aku sudah bisa pulang. Begitu juga beberapa teman yang lain. Tapi kali ini hujan turun deras sekali dan aku terpaksa harus berteduh di kelas kalau nggak ingin basah kuyup sampai rumah. Andai ada kamu, Neal… tentu suasananya nggak akan membosankan seperti ini, keluhku sambil membayangkan sosok Neal yang jangkung lari menembus hujan menghampiriku. Ajaib! Tiba-tiba bayanganku berujud. Sesosok tubuh jangkung berlari-lari menembus hujan menuju ke arahku. Aku mengucek-ucek mataku nggak percaya.
'Hi Nda… ' sosok basah kuyup itu menyapaku. Aku memukul jidatku sendiri. Bodohnya mengharapkan Neal tiba-tiba berada disini!
'Hi Ton,' balasku malas sambil terus menatap rintik hujan. Ternyata Tony, teman dekat Neal. Jari-jariku mulai meneruskan gambar acak yang kubuat di kaca yang mengembun.
Tony mengibas-ibaskan rambutnya yang basah. Sebagian memercik kena mukaku.
'Apa-apaan, sih?' tegurku. Aku menatap wajah Tony dengan kesal.
'Kamu melamun aja, Nda. Ingat Neal, yaaa … ' godanya. Aku tersenyum kecut. Begitu mudahkah aku ditebak? Tony duduk di dekatku, merapatkan kedua tangannya di dada lalu memandang ke luar kelas sepertiku.
'Asyik, ya kalau ada Neal. Suasananya pasti nggak garing seperti saat ini.' Aku membenarkannya dalam hati. Neal seperti matahari. Selalu ada kehangatan dan keceriaan dimanapun dia berada. Aku merasakan kehilangan yang sangat saat Neal kembali ke negaranya, Australia, karena program pertukaran pelajar yang diikutinya selesai. Padahal aku mengenalnya belum genap setahun.
'Hmm, kira-kira Neal sedang apa, ya sekarang?' gumam Tony memancingku. Aku tak bergeming. Neal sedang rindu padaku, Ton, ingin aku berkata seperti itu padanya.
'Disana sedang musim panas, Ton. Dia pasti sedang kegerahan,' jawabku sedikit bergurau. Tony tersenyum nakal.
'Wah, si muka bayi itu pasti sedang berjemur di pantai ditemani cewek-cewek bule Nda ! Wuih, senangnya jadi Neal … ' ujar Tony seenaknya. Aku berharap hujan turun makin deras sehingga aku nggak lagi mendengar celotehan Tony selanjutnya.
'Eh, Nda, tahu nggak … Neal naksir kamu, lho!' pancing Toni.
Mau nggak mau aku terpaksa membuka sumbatan kupingku.
'Ngaco kamu Ton … ' kilahku.
'Yeee … nggak percaya. Sebenarnya ini rahasia. Kamu nggak perhatiin cara Neal menatapmu saat bicara denganmu. Kamu nggak tahu, sih betapa bersemangatnya Neal waktu mencalonkanmu ikut lomba debat itu. Juga waktu anak-anak band menunjukmu jadi manager kami. Neal yang ambil suara.' Hatiku sedikit membesar mendengar bualan Tony.
'Ah, itu kan hanya perkiraanmu saja. Toh, Neal nggak pernah mengatakannya,' balasku berkilah penuh harap-harap cemas.
'Itu karena kamu dekat dengan Rio.' Plak! Aku seperti ditampar. Rio? Aku dekat dengan Rio karena memang aku ‘harus’ dekat dengan Rio. Rio adalah sepupuku yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi gara-gara bubuk putih maksiat itu. Jelas saja aku dekat dengan dia, karena aku diberi mandat orang tuaku dan orang tua Rio, yang juga Om dan Tanteku, untuk terus memantau dan membantu Rio mengikuti pelajaran dan kegiatan ekskul di sekolah. Makanya Rio sampai pindah sekolah, agar bisa satu SMU denganku, satu-satunya sepupunya. Memang, sih kedekatanku dengan Rio kentara banget dan banyak yang ngira aku pacaran dengan Rio. Aku sih nggak terlalu perduli dengan hal itu. lagi pula aku nggak mungkin menjelaskan kejadian yang sebenarnya ke semua orang, karena nggak baik untuk psikis Rio. Mantan pemakai, akan menjadi embel-embel di belakang nama Rio. Uh, sungguh nggak enak didengar! Jadi hanya orang tertentu saja yang tahu kondisi ini. Bahkan Neal dan Tony tak mengetahuinya, meskipun aku akrab dengan mereka dan makin akrab saat aku dipasrahi tugas menjadi manager kecil-kecilan band mereka.
Aku menelan kembali kalimat yang sudah ada di ujung lidahku.
'Neal, kan nggak mau mengganggu hubunganmu dengan Rio. Makanya dia menyimpan perasaannya dan hanya mengatakan sama aku saja. Itu pun di malam terakhir dia meninggalkan Jakarta. Aku ingin seperti Neal, Nda. Dia begitu pintar, dewasa, dan cakep! Dia juga mempunyai hati yang baik. Jarang-jarang, lho ada cowok seperti itu. Beruntunglah gadis yang mendapatkan cintanya.' Tony menatapku sambil tersenyum penuh arti. Aku buru-buru menghindari pandangan Tony. Lidahku terasa kelu. Aku merasa terpojok dan bersalah.
Sesaat suasana hening. Hujan sedikit mereda. Beberapa temanku ada yang nekat pulang menembus rintik hujan. Aku mengumpulkan hati untuk memecah kesunyian.
'Misalnya, Ton … misalnya, nih aku jadian dengan Neal, pasti akhirnya akan sama saja. Neal kembali ke negaranya dan meninggalkan aku sendirian. Aku nggak bisa mengisi hari dengan membayangkannya saja, kan? Aku pasti sangat membutuhkan kehadirannya disini, disampingku. Aku hanya bersikap realitas aja, Ton. Aku nggak bisa punya cowok yang jauh dariku. Disaat aku memerlukannya, dia jauh berada di belahan dunia lain dan aku nggak tahu apa yang sedang dilakukannya. Jadi, ada untungnya, kan aku belum pacaran dengan Neal?'
'Belum tentu, Nda,' jawab Tony. Hmm, Tony rupanya mengajakku berdebat.
'Mungkin aku nggak sehebat kamu kalau berargumen. Yang aku tahu, cinta itu sesuatu yang nggak bisa dijelaskan. Yang aku tahu, cinta itu mempunyai kekuatan untuk menyelimuti, menghangatimu dimanapun kamu berada. Andai kamu sekarang pacar Neal, kamu pasti nggak berada disini dengan tampang sendu menatap hujan. Tapi saat ini kamu pasti sedang berteriak kegirangan sambil berjalan di tengah rintik hujan. Karena cinta Neal akan menjadi 'payung’mu.'
Wow! Aku terkesima mendengar kata-kata Tony. Baru kali ini aku kehilangan kata-kata. Juara debat tingkat SMU se-Jakarta dikalahkan Tony yang tadinya menurutku, mungkin dalam kamus hidupnya hanya ada basket dan band! Ternyata …
'Tuh, hujan sudah reda. Aku duluan, yaaa …. mau latihan band, nih. Salam buat Neal, ya …' Tony nggak memberi kesempatan buatku berdalih. Aku menatap sosoknya dari belakang yang memang mirip Neal, kecuali warna rambutnya. Tiba-tiba aku rindu Neal. Rindu biru matanya, bau tubuhnya, rambutnya yang berwarna emas, candanya, … semuanya! Aku rindu menyamai langkah kaki Neal yang lebar nya dua kali langkah kakiku. Ugh, inginnya mengulangi lagi semuanya lagi.
Ah, Neal, … benarkah apa yang kau katakan di email semalam? Malam ini aku akan membalas e-mail Neal. Aku akan menyelesaikan semua keraguan, tanda tanya, dan kepura-puraan yang ternyata percuma dipertahankan. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan.
Lihat Neal… aku sekarang sedang tersenyum berjalan diantara rintik hujan. Rasanya ternyata sangat menyenangkan! Tubuhku memang basah, tapi hatiku tetap hangat. Terima kasih untuk payungnya, Neal.
-santie-

ps.
cerpen ini dimuat di majalah CINTA edisi 09 Januari 2004

Monday, November 03, 2003

CINTA ITU TANTANGAN



Siapa bilang cinta itu hanya akan bikin kita sedih dan sakit hati? Siapa juga yang bilang kalau cinta juga membuat kita nggak konsentrasi belajar? Ternyata malah sebaliknya, lho. Gara-gara jatuh cinta, aku jadi semangat belajar dan jadi aktif ikut kegiatan ekskul. Sebabnya? Steve, cowok yang sedang aku taksir ternyata super aktif! Bintang kelas, ketua OSIS, kapten basket, dan juara umum Jujutsu SMU tingkat Nasional! Belum cukup alasannya? O iya, dia juga cakep, karena dia juga model! Melupakannya? Oh, tidak. Justru aku tertantang untuk bisa mengalahkannya. Coba hitung berapa banyak cewek yang suka padanya? Lalu bandingkan berapa banyak yang mundur teratur karena tidak percaya diri. Lihat, lebih sedikit bukan sainganku?
Menurutku, mencintai juga butuh taktik. Aku percaya nggak semua orang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi aku nggak secantik model. Mungkin sulit sekali untuk jatuh cinta pada pandangan pertama denganku. Sebaliknya, mudah sekali mencintai Steve. Sekali pandang, 'tap’ ! Mungkin nggak terhitung cewek yang langsung klepek-klepek saat pertama kali bertemu dengannya.
Tapi tunggu dulu. Meskipun aku nggak secantik model yang sering nampang di majalah dan TV, aku juga mempunyai bakat. Menyanyi ! Aku juga jago bikin puisi. Kerap puisiku dimuat di majalah remaja. Lebih dari lima buah piala lomba menyanyi menghiasi kamarku. So, aku punya alasan untuk terus maju, bukan?

Sore itu jadual Steve latihan basket. Aku tiba di lapangan paling awal. Untuk apa? Aku nggak pernah melewatkan kesempatan melihat Steve latihan basket, meski aku ada di bangku urutan paling belakang. Apalagi sebentar lagi ada turnamen basket se DKI. Meski Steve nggak menyadari keberadaanku, aku nggak perduli. Aku hanya ingin selalu ada untuk menyemangatinya. Sia-sia? Tidak juga. Buktinya Steve selalu mencetak poin setiap kali aku menungguinya latihan atau bertanding !
Lihat disana, di antara pemain lainnya, Steve paling menonjol dan paling banyak mendapat dukungan. Lihat caranya tersenyum … (aku nggak bakalan melupakan senyum khasnya itu!). Hmm, aku memang nggak salah pilih!
Sudah 3 bulan sejak aku jadi anak baru di sekolah ini, belum sekali pun aku punya kesempatan untuk bicara dengannya. Padahal kami sekelas. Aku nggak mau langsung deketin dia dengan alasan yang dibuat-buat. Tidak, itu bukan tugasku. Steve lah yang harusnya mendatangiku. Sabar, begitu ujar batinku setiap kali kelebatan bayangan Steve menarik-narik mataku. Hingga suatu hari …
'Tiara, kan namamu?' aku melonjak kaget. Angin apa yang membuat sosok menawan ini mengajakku bicara? Aku mengangguk gugup.
'Band kami sedang butuh penyanyi. Aku dengar kamu punya suara yang bagus. Kamu bersedia ikut audisi kecil kami besok?' mata cokelatnya berpendar. Steve juga anak band? Wow!
'Gini,' Steve mendekatkan tubuhnya. Aku mencium harum segar karisma yang sekarang di depan mataku. Jangan sia-siakan, Ra …suara bijaksana berbisik di telingaku.
'Baru sebulan ini aku dan beberapa teman yang suka musik membentuk band. Namanya FISH Band,' Steve berhenti sejenak. Aku geli mendengar nama band-nya. Steve tersenyum.
'Namanya aneh, ya? Hehehee … idenya, sih karena semua anggota band kami berbintang Pisces. Aku main drum. Kebetulan penyanyinya belum ada. Ada beberapa calon, salah satunya kamu. Dari beberapa calon itu, kamu calon terkuat. Soalnya setelah aku periksa datamu, ternyata bintang kamu Pisces juga, ya? Itu yang kami cari! Taruhannya ganti nama band, nih kalau misalnya penyanyinya berbintang lain. So, kamu bersedia, kan datang ke tempat ini besok sore?' Steve mengangsurkan selembar kertas bertuliskan alamat. Aku bengong.
'Sst, katanya kalau diam itu berarti ‘iya’ . Jangan telat, yaaa …,' dengan santai Steve berlalu. Hah? Apa yang terjadi barusan? Mimpikah? Aku mencubit lenganku. Sakit! Terima kasih, Tuhan ... karena telah mengijinkan bunda melahirkanku dengan bintang Pisces hihihii …

Untung bunda mengijinkan aku pergi, syukurku dalam hati sambil merapikan t-shirt biruku. Nggak usah dandan berlebihan. Kalau memang Steve menyukaiku, sebaiknya ia menyukai apa yang ‘di dalam’, bukan apa yang tampak dari luar, ujarku bijaksana. Pemikiran seperti ini nggak aku dapat begitu saja, lho. Itu hasil dari hobiku membaca buku ‘bijaksana’ macam serial Chicken Soup. Yup, selesai! Aku mematut di depan cermin sekali lagi.
'Tiara, turun, dong. Dicari temenmu, nih!' suara Bunda dari bawah mengagetkanku. Aduh, pasti Rani mau pinjem pe er lagi. Gawat, nih …kalau sampai ketahuan, besok bisa jadi bahan gosip di sekolah. Aku kelabakan. Tapi udah terlanjur, mau gimana lagi? Aku memutuskan turun ke ruang tamu.
Deg! Jantungku hampir lepas dan berhenti berdenyut. Steve!
'Sore Ra,' Steve berdiri ketika melihatku. Aku gugup.
'Aku takut kamu nggak jadi datang, makanya aku cari alamat rumahmu dan menjemputmu,' katanya sopan menjawab keherananku. Oh, my Godness! Untuk beberapa saat aku speechless!
'Yuk, berangkat sekarang,' ajaknya sambil tersenyum manis. Pasti mukaku merona merah saat itu. Akhirnya setelah pamit, aku nurut saja waktu Steve membimbingku masuk ke VW kuningnya.
Audisi berjalan mulus. Aku resmi jadi vokalis band mereka. Jadi, apa alasanku untuk mundur sekarang? Nggak ada bukan? Aku pulang dengan senyum penuh kemenangan!

Ngobrol, jalan, dan dekat dengan Steve yang dulu merupakan impianku setiap malam, kini menjadi sesuatu yang biasa. Aku kini bebas berlama-lama mengamati wajahnya, menyelami matanya, dan tanpa ragu berjalan disampingnya. Hal ini tentu saja membuat iri teman-teman cewekku yang lain. Setiap Selasa, Kamis, dan Jumat, Steve dan anggota band lainnya seperti Ario, Hari, Nde, dan Indra, kerap menungguiku pulang sekolah, menjemputku latihan band, lalu mengantarku pulang. Tapi sepertinya itu nggak cukup untuk bisa dikatakan kalau aku telah merebut hati Steve. Kabar bagusnya, Steve belum punya pacar! Itu fakta yang aku dapat selama dua bulan bergaul dengannya. Tapi dua bulan bukan waktu yang cukup untuk mengenal seseorang, apalagi memasrahkan hati padanya.
'Pacar Steve sedang sekolah di Amrik,' ujar Ario, pemain bass band kami, santai. Ario pasti nggak tahu kalau ucapannya itu langsung membuatku jatuh ke jurang yang gelap. Antara percaya dan tidak percaya aku memilih mempercayai Ario. Ibaratnya, Ario adalah tangan kanan Steve, begitu juga sebaliknya. Sore itu aku pulang dengan hati yang patah!

Nggak enak badan, itu alasanku menolak latihan band dua hari kemudian. Sepertinya aku perlu waktu untuk menerima kenyataan, kalau aku mencintai pacar orang lain. Itu tidak ada dalam kamusku. Sst, itu juga etika sesama wanita, menurutku. Aku harus tahu kapan waktunya maju dan kapan harus mundur. Aku memang selalu memberi batasan pada sikapku.. Biar aku tumbuh menjadi wanita berprinsip, begitu nasehat bundaku. Aku pikir nggak ada salahnya, meskipun hatiku harus hancur karenanya. Jadi, dengan menguatkan hati, aku mengintip wajah kecewa Steve dan Ario yang menjemputku sore itu.
Besoknya waktu istirahat, Steve menghampiriku yang sendirian di kelas. Sungguh, saat itu aku nggak siap!
'Udah baikan, Ra?' suara khas Steve mengagetkanku. Aku menatap matanya sekilas dan berusaha tersenyum. Steve diam sejenak.
'Kamu tahu apa yang aku suka dari dirimu?' aku menggeleng campur heran. Nggak biasanya Steve mengatakan hal-hal seperti ini.
'Kamu penuh bakat, mandiri, dan tidak cengeng! Satu lagi, kamu selalu tersenyum. Jadi, aku nggak tahu apakah kamu sedang sedih atau senang saat ini, karena kamu selalu tersenyum. Dan jujur, aku sangat menyukai senyummu, Ra.' Aku tercengang. Steve selama ini mengamatiku! Bias malu melingkupiku. Nggak setiap hari aku mendapat pujian seperti ini, apalagi keluar dari mulut cowok yang selama ini menjadi pangeran di hatiku. Aku nggak boleh sedih, tekadku. Meskipun aku tahu kalau ucapan Steve hanya untuk menghiburku, tak lebih. Steve nggak mau melihatku mundur, apalagi kompetisi band yang diadakan salah satu radio gaul di Jakarta tinggal seminggu lagi. Aku melakukannya untuk Steve, kali ini murni karena aku menghormati dan mengagumi pemikirannya. Plus, karena aku ingin menunjukkan kalau Tiara memang gadis yang mandiri dan berbakat seperti perkiraannya. Semangat itu kembali memenuhi hatiku!

Hari ini kompetisi band itu! Sekitar 30 band peserta dan diantaranya sudah terkenal. Minder? Rasa itu pasti ada, karena band FISH adalah band baru. Umurnya saja baru jalan 4 bulan. Tapi Steve mempunyai kekuatan untuk membuat kami yakin dan bebas menunjukkan kebisaan kami yang sudah diasah hanya dalam waktu yang singkat itu.
Aku memandang pangeranku yang kelihatan sangat tampan hari ini dengan jeans dan t-shirt hitamnya. Dia berpaling dan sialnya, aku nggak punya cukup waktu untuk menghindar. Baru kali ini aku kepergok sedang menatapnya. Steve tersenyum. Aku membalasnya sambil menyimpan rasa perih di dada, mengingat senyum itu pasti nggak sepenuhnya khusus untukku. Gadis itu, yang katanya sedang sekolah di Amrik lah yang memilikinya. Aih, pahitnya!
Setelah band yang sekarang tampak sedang manggung itu, band kami peserta selanjutnya. Masing-masing dari kami melakukan pemanasan setelah berdo’a bersama. Apapun nanti hasilnya, menang atau kalah, kami bertekad memberikan yang terbaik. Berdo’a selesai.
Aku menatap penonton dari balik tirai panggung. Wow … berapa ribu orang yang menonton kami? Ario ikut mengintip di sebelahku.
'Ra, kamu sering-sering ngobrol sama Steve, deh!' aku kaget. Mengapa Ario berkata seperti itu? tatapku heran.
'Steve baru saja putus sama pacarnya. Katanya, sih pacarnya punya cowok baru disana. Kamu, kan satu-satunya cewek yang dekat dengannya. Tolong dong, ajak dia bicara. Jangan sampai masalah itu mengganggu pikirannya. Jujur aja Ra, tanpa Steve, band ini nggak hidup, deh.' Aku menatap mata Ario. Apa-apaan ini? Aku ingin memukulnya karena mengatakan hal seperti pada saat aku bersama anggota band lainnya harus manggung. Tapi disisi hatiku yang lain, aku sangat gembira. Berarti aku masih punya kesempatan mendekati Steve tanpa menyakiti orang lain. Semangat itu … tiba-tiba bergelora. Aku menatap Steve yang siap-siap naik ke atas panggung. Steve balas menatapku. Ada sesuatu yang berpendar disana, sesuatu yang lama aku cari. Dengan penuh keyakinan, aku mengikutinya, mengambil mike, menyanyi, dan memberikan kemenangan untuknya. Steve, cinta itu selalu menang!
::santie::

Sunday, November 02, 2003

SAAT RULLY JATUH CINTA



"Tambahkan dia kacamata, aku mungkin akan jatuh cinta!"

"Kenapa sih, kamu suka banget cowok berkacamata?" sentil Ririn. Rully belagak nggak dengar. Ekor matanya masih mengikuti cowok keren berkacamata yang barusan lewat. Setelah cowok itu hilang di tikungan, baru ia membagi perhatiannya buat Ririn, sahabat tercintanya.
"Barusan nanya apa?" tanya Rully pura-pura bego. Ririn hanya mendengus kesal sambil memainkan ujung rambutnya. Dua orang sahabat ini setiap hari pulang dan berangkat sekolah selalu bersama-sama. Selain karena rumah mereka hanya terpisah dua blok, dari TK sampai kelas 2 SMU, Ririn dan Rully selalu sekelas. Saking dekatnya, teman-teman mereka sering salah panggil. Bahkan ada yang menyangka mereka saudara, dan..kembar! Yang terakhir ini sering membuat mereka geli. Bagaimana bisa? Begitu tanggapan mereka sambil saling memandang lalu dilanjutkan acara mematut di depan cermin bersama. Tinggi dan berat tubuh mereka memang hampir sama. Tapi kalau dibandingkan dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki akan terlihat jelas perbedaannya. Dimulai dari atas, alias rambut. Rambut Rully ikal sedangkan rambut Ririn lurus. Muka jelas berbeda karena ‘pabrik’nya juga berbeda. Dengan 2 fakta ini saja sudah cukup dijadikan alasan untuk menyangkal tuduhan mereka. Bagaimana mungkin bisa tersebar gosip kalau mereka anak kembar? Apalagi kalau ditanya soal selera cowok. Syarat utama untuk jadi cowok Rully adalah harus berkacamata, biarpun cakepnya selangit kalau tidak berkacamata,… hmm, nggak akan mendapat perhatian Rully secuilpun. Sedangkan Ririn tidak tertarik dengan cowok berkacamata. Menurutnya, kacamata justru menutupi kegantengan cowok itu sendiri.
Rully seorang gadis yang manis. Ia mempunyai mata yang indah dan senyum menawan. Tak sedikit cowok yang mendekatinya. Bahkan Ririn secara diam-diam mendaftarkan Rully ikut pemilihan Gadis Sampul di majalah Gadis. Untuk itu, Ririn sudah siap menghadapi amukan sahabatnya kalau ternyata Rully masuk semi finalis dan foto Rully dilihat orang se-Indonesia!
Mengapa Rully suka cowok berkacamata? Sebenarnya alasannya sangat bodoh, itu pendapat Ririn. Rully fans setianya Superman, tokoh manusia super rekaan Jerry Siegel dan Joe Shuster. Berbagai pernak-pernik dan poster Superman memenuhi kamarnya. Menurutnya, cowok cakep dan mempunyai kekuatan super ini juga ada di bumi. Salah satu cirinya, ya, berkacamata, seperti Clark Kent. Itulah alasan Rully mengapa kacamata adalah syarat utama menjadi cowoknya (diantara syarat-syarat lainnya tentunya).
Ada, sih, cowok yang berkacamata di kelas. Namanya Tony. Tapi Tony cowok cabi, ciri kedua cowok yang tidak disukai Rully. Ada lagi Deny anak Fisika 2. Sudah keren, kaya… berkacamata lagi! Diperkuat tanda-tanda sepertinya Deny ada perhatian sama Rully. Tapi ketika ‘calon’ ini diajuin, eh..Rully malah berang. Katanya biarpun cakep, Deny, tuh, suka nggampangin cewek dan tidak cerdas, ciri ketiga cowok yang tak disukai Rully. Pokoknya bikin Ririn pusing, karena sahabat tercintanya ini sampai sekarang belum punya pacar lantaran semua calon tidak memenuhi syarat. Jadi Rully sampai sekarang nggak punya pacar bukannya nggak laku lho, begitu bela Ririn di depan teman-temannya yang curiga kenapa Rully masih saja jomblo sampai sekarang.

Siang itu saat Ririn mau berangkat sekolah, Rully sudah siap menunggunya di depan pagar rumah. Hari itu mereka masuk siang, gantian dengan kelas 1.
“Tumben nyamperin?” sapa Ririn sambil menutup pintu gerbang rumahnya. Rully hanya senyum-senyum kecil. Mereka berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak 2 km dari rumah Ririn.
“Kok malah cengar-cengir?” Ririn makin penasaran. Rully mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Ririn.
“Tadi malam aku bermimpi ketemu Su…” bisikan Rully menggantung. Secara reflek ia mendorong Ririn menjauh dan dalam waktu bersamaan kepalanya melengak ke kiri menghindari bayangan hitam yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ternyata bola basket! Untung saja naluri taekwondo-nya tajam dan membuatnya terhindar dari bahaya yang tiba-tiba datang.
“Maaf, ya…” seorang cowok berkostum olahraga dengan nafas tersengal berlari menghampiri mereka, lalu mengambil bola basket yang bergulir di dekat kaki Rully. Menilik kostum yang dipakainya. pasti cowok ini anak kelas tiga yang sedang jam olahraga.
“Kamu nggak pa pa kan?” ada nada khawatir dalam suara bagus itu. Rully menggeleng sambil membantu Ririn berdiri. Saat matanya beralih ke cowok itu Rully jadi bengong. Baru disadarinya ternyata cowok itu cakep banget dan matanya…. baru kali ini Rully melihat mata seteduh itu. Ada sesuatu dalam mata cowok itu yang menarik-narik Rully untuk nggak mengalihkan pandangan.
“Eh, kamu anak kelas berapa sih, kok aku jarang lihat?” selidik Ririn sambil mengamati muka cowok itu yang berpeluh. Cakep juga, batin Ririn sambil melirik Rully yang masih bengong.
“Aku anak baru di kelas 3 Fisika 3. Baru kemarin pindah,” jawabnya kalem.
“Oh, pantesan. Kami anak kelas 2 Fisika 1. Kenalkan aku Ririn dan ini temanku, Rully,” ujar Ririn sambil mengangsurkan tangan dan menggamit lengan Rully agar melakukan tindakan sepertinya, ritual berkenalan.
“Andre,” jawab cowok itu sambil menyambut uluran tangan Ririn kemudian Rully. Rasa hangat tiba-tiba menjalar saat jari Andre menyentuh telapak tangannya. Rasa hangat itu merambat terus sampai ke hatinya, lalu naik ke kepala, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan terakhir kakinya! Tak sengaja mata Rully bertemu mata Andre. Sekali lagi rasa hangat itu melingkupinya. Rully nggak tahu apa yang Ririn dan Andre obrolkan kemudian karena ia sibuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.

Sejak itu Rully jadi pendiam. Ririn yang setiap hari bersamanya jadi nggak tahan.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Ririn sambil melempari Rully dengan kacang goreng yang dibelinya di kantin. Akhir-akhir ini Rully jadi rajin ke perpustakaan, hal yang jarang dilakukannya meskipun Rully selalu 3 besar di kelas. Rully hanya melempar senyum kecil lalu beranjak dan menggamit lengan Ririn, mengajaknya ke ruangan diskusi agar percakapan mereka nggak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain.
“Gimana sih rasanya jatuh cinta?” pertanyaan Rully membuat Ririn termangu. Menyesal tadi bertanya, rutuknya dalam hati.
“Kamu lagi jatuh cinta? Sejak kapan? Sama cowok berkacamata yang mana? Ketemu dimana, sih, kok nggak pernah cerita?” Ririn penasaran. Diberondong pertanyaan bertubi-tubi membuat Rully jengah. Belum sempat Rully menjawab, matanya menangkap satu sosok yang sangat dikenalnya tiba-tiba berkelebat melintasi mereka.
“Hai Rully, lagi diskusi apaan, nih?” sapa Andre dan berhenti tepat didepan Rully. Hanya meja kayu yang memisahkan keduanya. Rully terkesiap kaget dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Mukanya terasa panas. Rasa hangat itu kembali datang. Kini diiringi detak jantung yang kian kencang. Keringat dingin pun mulai keluar. Ririn menatap Rully yang salah tingkah. Ia heran melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya.
“Eh, Andre. Biasa…girls stuff-lah…” jawab Ririn sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Andre nggak mengganggu. Andre hanya terkekeh sambil meninggalkan senyum yang kemudian terpatri manis di relung hati Rully.
“Oi,… kamu suka Andre ya?” goda Ririn setelah Andre pergi. Debar itu telah reda sekarang.
“Kok kamu bisa ngomong gitu sih?” kilah Rully sambil memperbaiki duduknya.
“Habis mukamu merah kayak kepiting rebus waktu Andre tadi kesini,” jawab Ririn sambil tertawa. Rully merengut kesal.
“Nggak mungkin lah aku suka Andre,” bantah Rully.
“Lho, buktinya yang bisa bikin kamu kalang kabut seperti ini, kan, baru Andre. Belum pernah aku lihat kamu segrogi itu di depan cowok.”
“Tambahkan Andre kacamata, mungkin aku akan jatuh cinta,” kelakar Rully sedikit puitis.
“Rully..Rully… sebenarnya kamu nunggu siapa sih? Clark Kent nggak akan nyamper kesini, deh. Dia masih banyak tugas di dunianya sana. Dan kamu akan jomblo selamanya kalau nggak mau jujur dengan diri sendiri. Superman nggak hanya menyamar jadi cowok berkacamata saja. Mungkin memang Andre nggak bisa terbang seperti Superman. Tapi dia akan membuatmu mengenal dunia lain selain Planet Krypton, yang mungkin jauh lebih indah.” Panjang lebar Ririn menasihati sahabatnya.

“Rin,…Rully mana?” Andre tiba-tiba sudah menjajari langkahnya. Ririn tersenyum. Akhirnya nyamper juga, benak Ririn senang. Kemarin Andre hanya melihatnya dari kejauhan dengan pandangan bertanya-tanya melihat ia seharian tanpa Rully.
“Rully sakit,” jawabnya pendek sambil melirik muka cakep disebelahnya. Andre memperlambat langkahnya. Jelas sekali ia kaget mendengar kabar yang dibawanya.
“Sakit apa?” tanya Andre cepat. Raut muka cemas tergambar jelas di wajahnya. Ah Rully, kamu telah menyia-nyiakan cowok setampan dan sebaik ini, sesalnya dalam hati.
“Andre,…dengan perhatianmu itu, aku tahu kok kalau kamu naksir Rully. Lupain aja,deh. Rully nggak mungkin menerima kamu jadi cowoknya,” tutur Ririn hati-hati. Muka Andre memerah.
“Rully udah punya cowok, ya?” patah kini suara Andre. Ririn menggelengkan kepala.
“Rully suka cowok yang berkacamata, seperti Clark Kent,” jawab Ririn sambil berlalu meninggalkan Andre yang masih kebingungan. Ririn takut kalau masih bersama Andre akan tambah menyakiti hatinya.

“Lho, kok udah masuk, sih? Udah baikan, ya? Tahu gitu aku tadi mampir ke rumahmu,” sapa Ririn riang sambil meletakkan tasnya di bangku lalu duduk di sebelah Rully.
“Bosan di kamar terus. Lagian udah mendingan dan nggak pusing lagi. Banyak pe er ya?”jawab Rully masih dengan suara lemahnya. Ririn lalu mengeluarkan bukunya.
“Eh, Rin… bukankah itu Andre?” Tanya Rully sambil menunjuk lapangan olahraga melalui jendela kelas. Ririn mengikuti arah telunjuk tangan Rully. Tampak anak kelas 3 sedang latihan basket. Andre sedang mendribel bola dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tampak memegang sesuatu di wajahnya. Cara memegangnya seperti mencegah sesuatu itu agar tidak jatuh. Sepertinya kondisi ini membuatnya kesulitan bergerak bebas.
“Tapi…kok dia pakai kacamata, sih? Jadi kelihatan aneh, ya” gumam Rully pelan. Ririn malah bengong. Rully balik menatap Ririn.
“Jangan-jangan….” selidik Rully curiga.
“Hah? Aku?” Ririn tergagap. Memorinya terbang pada kejadian kemarin waktu Andre mendekatinya dan menanyakan keberadaan Rully.
“Oh, itu..kemarin. Aku cuma bilang kalau kamu suka cowok berkacamata.” Mata Rully terbelalak kaget.
“Eh, menurutmu Andre lebih cakep kalau berkacamata, ya? Kamu kan suka Andre dan sekarang dia berkacamata. Nah, kurang apa lagi?” goda Ririn diselingi cubitan Rully yang mampir ke pinggangnya. Dari kejauhan Andre melambaikan tangan ke arah mereka. Rully jadi salah tingkah. Ingin rasanya ia berteriak “Andre….copot kacamatamu. Kamu kelihatan jeleeeeek…!!!”

-written by santie-

(cerpen ini pernah dimuat di majalah Gadis, menjadi penghiburan saat saya sedang sakit.)

Tuesday, October 28, 2003

F I T R I



Dua minggu menjelang lebaran.
Lebaran di rumah nenek? Huh, ke Sleman (: daerah dekat Yogya) lagi! Apa enaknya sih lebaran di kota sekecil itu? Enakan juga di Jakarta! Sungutku kesal.
“Kenapa sih harus kesana, ma?” protesku setelah ganti baju sepulang sekolah. Mama yang sedang masak buat buka puasa hanya tersenyum.
“Lebaran tahun kemarin kan kita nggak kesana. Nenek kangen kamu katanya,” jawab mama masih dengan senyum manisnya. Bau kolak pisang yang masih di kompor ‘dalam kekuasaan’ mama menggoda perutku. Tapi waktu buka masih 4 jam lagi!
“Hmmm, gimana kalau Tya nggak ikut?” ujarku lirih, takut mama kehilangan konsentrasi, lalu hancur, deh kolak pisang kesayanganku. Tapi mama cuma menoleh selintas lalu mengangkat panci kolak pisang yang sudah masak. Selesai sudah menu terakhir buka hari ini, kira-kira begitu raut muka mama kubaca. Sambil menaruh celemek ke tempatnya, ibundaku tersayang ini beranjak pindah ke ruang tengah. Aku menguntit dari belakang.
“Maaa…” aku sedikit merajuk, meskipun aku hapal kalau reaksinya seperti ini naga-naganya nggak bakalan dapat ijin.
Dengan tenang mama duduk di kursi sambil menyalakan tv yang memutar telenovela kesayangannya. Alamak, telenovela lagi!
“Kamu mau ditinggal sendirian, sementara mama, papa, dan dek Dimas pergi ke Sleman? Emang kamu berani?” ditantang seperti ini aku bungkam. Wah, kebayang juga seremnya di rumah sendirian. Dua minggu lagi! Tapi,… tiba-tiba ide nakal terbersit dalam benakku.
“Ma, tante Lusi kan nggak pergi ke Sleman. Tya di rumah tante Lusi aja ya...,” mama nggak menjawab. Kelihatannya mama makin larut dalam cerita telenovela yang ditontonnya. Aku masih memasang muka merajuk.
“Mama sih nggak melarang, asal kamu berani dan mau tanggung jawab sendiri.” Aku mengangguk mantap meyakinkannya.
“Ya udah, bilang Tante Lusi sana.” Akhirnya! Kata-kata itu keluar juga. Tanpa menunggu disuruh dua kali, aku langsung meraih telepon. Dan ending-nya bisa ditebak: lebaran aku nggak usah ke Sleman! Dengan wajah berseri-seri aku mencium kedua belah pipi Mama.

Seminggu menjelang lebaran
Aku ikut membantu mama beres-beres untuk keperluan ke Sleman. Wah, banyak banget bawaannya.
“Ma, buat apa sih bawa baju dan makanan sebanyak ini?” sungutku kesal sambil memasukkan baju-baju mungil itu ke dalam tas.
“Baju-baju itu buat sepupumu. Kan, banyak yang masih kecil-kecil.” Aku mengangguk. Padahal aku nggak ngerti maksud mama. Bukankah sepupuku juga punya orangtua yang bisa beliin baju?
Kalau papa lain lagi yang dibawa.
“Masak papan catur juga dibawa sih?”ujarku keheranan.
“Buat main catur sama om-mu,” dengan entengnya papa menjawab sambil memasukkan papan catur ke mobil. Aku lihat dek Dimas juga asyik memasukkan mainannya ke bagasi mobil.
“Lho, kok kayak mau ngungsi aja, sih? Jangan-jangan nggak balik ke rumah lagi,” keluhku ketakutan. Papa mengacak-acak rambutku.
Setelah semua siap, aku mengantar mereka sampai ke pagar.
“Hati-hati ya,” pesan mama sambil mencium keningku.
“Tenang, ma. Tya udah gede kok,” ujarku yang ditanggapi dengan selorohan kompak mereka. Wah, kok ada yang beda, ya rasanya, batinku sambil membalas lambaian tangan mereka. Ah, peduli amat. Yang penting aku nggak usah melewatkan lebaran di Sleman! Cabut ke rumah tante Lusi ah, putusku sambil merapikan tas pakaian.

Lima hari menjelang lebaran
Rumah Tante Lusi memang besar dan mewah. Mungkin 2 kali lebih besar dari rumahku. Tapi penghuninya termasuk sedikit untuk ukuran rumah sebesar itu. Bayangkan saja, penghuninya hanya Om dan Tante Lusi, ditambah 4 orang pembantu, 2 sopir pribadi, dan seorang satpam.
“Ndoro putri dan kakung udah berangkat ke kantor dari tadi,” jawab Yu Mirah dengan logat jawanya yang masih kental, waktu aku tanya keberadaan tante dan om. Pantesan baru jam 08.00 WIB aja udah sepi.
“Eh Yu, makanan disini enak-enak ya. Siapa sih yang masak?” pujiku tulus. Sejak nginap disini, setiap buka puasa dan sahur aku sering makan sendirian. Untung masakannya enak.
“Fitri,” jawab Yu Mirah sambil menyusun belanjaan di lemari es.
“Fitri yang mana?” Aku mengernyitkan dahi.
“Yang bertugas masak. Itu lho, yang seumuran njenengan,” tau ah! Emang aku pikirin…
Hmm, pagi-pagi enaknya ngapain ya? Santai di kolam renang, ah sambil menikmati sinar matahari pagi yang banyak vitamin D-nya. Kalau saja rumahku sebesar dan seapik rumah tante Lusi, pasti aku betah di rumah, batinku sambil bersandar di kursi malas dekat kolam renang. Semua ada. Semua dilayani. Apalagi yang kurang? What a wonderful life…

Tiga hari menjelang lebaran
Udah beberapa hari di rumah Tante Lusi, tapi bisa dihitung dengan jari berapa kali aku ketemu Om maupun Tante. Mereka sibuk banget. Pagi udah berangkat kerja, pulangnya larut malam setelah aku tidur. Sama aja di rumah sendirian, dong. Jadi kangen nih sama mama… Kalau tahu bakalan seperti ini, mendingan aku ikut ke Sleman! rutukku dalam hati.
Eh, tiba-tiba telingaku menangkap suara tangisan yang ditahan. Siapa yang iseng menangis jam 10 malam gini? Kayaknya, sih dari kamar belakang. Aku berjingkat mendekat.
Rupanya Yu Mirah sedang bersama seorang gadis seumuranku. Mungkin ia yang dimaksud dengan Fitri yang jago masak itu. Aku merapat ke tembok, takut bayanganku ketahuan mereka. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan Fitri menangis.
“Sudahlah, nduk. Jangan nangis lagi..” bujuk Yu Mirah.
“Tapi Fitri pengen pulang, mbok. Fitri pengen ngumpul bareng keluarga di desa, huk..huk..” aku semakin menajamkan pendengaranku.
“Lha, gimana lagi. Kowe kan ndak diijinkan pulang. Lha wong ndoro Putri aja ndak ke Jawa. Sabar…”
“Mbok, kalau nggak lebaran sih nggak masalah. Sudah setahun Fitri ndak pulang. Fitri kan kangen…huk...huk...” lalu sunyi. Sesekali terdengar suara isakan Fitri yang tersendat. Aku buru-buru balik ke kamar. Takut kalau terlalu lama bakalan ketahuan.
Di kamar aku masih mikirin kejadian tadi. Tante Lusi, kan orangnya baik. Tapi kenapa Fitri nggak diijinkan pulang kampung? Ah, mengapa tiba-tiba aku ikut sedih, ya? Selanjutnya aku tidak bisa tidur…

Dua hari menjelang lebaran
Pagi ini aku sengaja bangun lebih awal. Dengan mengumpulkan keberanian, aku mengetuk pintu kamar tante Lusi.
“Eh, Tya. Masuk, yuk,” ajak Tante Lusi yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Tanteku ini memang cantik. Tapi tidak secantik mama, meskipun mama jarang dandan…hehehee…
Aku melihat sekeliling, lumayan luas dan lengkap. Ada home teaternya segala. Tapi kelihatannya Om sudah berangkat duluan. Kebetulan, nih.
“O iya Tan, kenapa tante nggak ikut lebaran ke Sleman?” tanyaku sambil mencoba tempat tidurnya. Nyaman!
“Karena Tante terlalu sibuk dan nggak bisa ninggalin pekerjaan, sayang,” jawab Tante sambil mencubit ujung hidungku. Enteng sekali jawabannya. Papa juga bekerja, tapi bisa lebaran ke Sleman, pikirku.
“Eh, Tan, Fitri tuh asalnya darimana, sih?” aku duduk sambil asyik mengamati Tante yang sibuk mematut diri di cermin besarnya. Tante melengak agak kaget mendengar pertanyaanku.
“Dari Yogya. Deket rumah nenek, tuh. Tapi mengapa kamu menanyakan hal itu?”
“Kenapa, sih dia nggak diijinin pulang?” aku tak memperdulikan pertanyaan tante.
“Ke Yogya sama siapa? Kalau ada yang nganterin sih nggak masalah. Yang tahu rumahnya hanya Yu Mirah dan Pak Kirno, sopir tante. Tapi keluarga mereka, kan disini dan tahun ini nggak mudik. Tante nggak tega membiarkan Fitri pulang sendirian. Apalagi sekarang udah mau lebaran, pasti sedang ramai-ramainya. Kamu lihat sendiri, kan di tv,” jelas tante Lusi. Wah, tanteku memang baik.
“Berarti kalau ada temennya, Fitri boleh pulang ke Yogya, dong?” kejarku. Tante tersenyum mengiyakan sambil melenggang mengambil tas kerjanya.
“Tan, Tya boleh minta tolong nggak?” cegatku di pintu.

Satu hari menjelang lebaran
Aku membuka mata. Wah, udah pagi! Jam 04.12 WIB, batinku sambil melirik jam tangan. Aku melihat ke samping. Fitri masih tertidur pulas. Ada senyum tersungging di bibirnya.
“Udah sampai mana, pak?” Pak Kirno, sopir pribadi tante Lusi yang mengantar kami ke Yogya, tampak terkantuk-kantuk menyetir di depan.
“Yogya, neng.” Akhirnya aku menghirup udara Yogya!
“Nganterin Fitri dulu, kan?” tanya Pak Kirno kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Sebentar lagi sampai Sleman. Wah, Mama pasti kaget. Apalagi melihat bawaanku: mukena untuk mama, baju koko untuk papa dan dek Dimas!
-santie-

(cerpen ini dimuat di majalah Gadis edisi Lebaran 2002)
RINDUKU, ELAINE..



Apapun bisa terjadi karena rindu yang penuh,
sepenuh rinduku saat menulis surat ini,
Yang kukabarkan melalui angin,
mengetuk setiap nurani,... berbisik lirih…
Bukalah pintu, Elaine…biar rinduku masuk.


Dear Elaine,…
Laine, ini Cly. Mungkin ini adalah artikel terpanjang yang pernah ada, atau lebih tepatnya artikel yang salah muat (hmm… kamu pasti tersenyum membacanya… ). Bukan. Ini adalah salah satu jalan yang kutempuh untuk menemukanmu.
Laine, udara kamar ini masih sama seperti sebulan yang lalu saat terakhir kamu disini. Dingin, dan sesekali angin nakal menusuk masuk melalui celah-celah jendela. Kamu ingat goresan dalam di dinding itu? Sekarang aku sedang memandanginya. Ingatkah kamu tentang goresan kenangan itu? Goresan itu kamu buat dengan bor 2 Maret setahun yang lalu. Aku tahu persis karena kamu selalu menuliskan tanggal di setiap goresan yang kamu buat. Kamu ingat tempat tidur kita? Hahahaa… semua penuh tulisan tanggal yang kamu anggap keramat.
O iya, tentang goresan di dinding itu biarkan aku menggambarkannya. Goresan itu tepat diatas tempat tidur kita,(bayangkan kita masih saja tidur seranjang!), dimana aku bisa melihatnya dengan jelas dari meja belajarku. Tidak begitu dalam menggores tembok tapi bisa ditebak bentuknya. Bentuk hati. Goresan itu kamu buat setelah menerima Martin menjadi kekasihmu. Martin memang tampan dan dia pantas bersanding denganmu, apalagi dia sepertimu, berdarah Perancis!
Kadang aku iri, Laine. Kamu sangat cantik. Rambut pirangmu bergelombang tidak berkesudahan. Aku selalu menatap diam-diam sambil mengusap rambut pendekku. Perih!
Bentuk tubuhmu pun sangat seksi, begitu komentar setiap orang yang bertemu denganmu. Dengan tinggi 178 dan berat 52 kamu bisa dengan mudah menjadi seorang model terkenal. Tapi kamu tidak mau, meskipun banyak agency menawari.
Walaupun kita hampir sama tingginya, namun kulitku tak semulus milikmu. Ya, kamu selalu lebih dari aku. Sayangnya aku sangat menyayangimu, dan semua rasa dengkiku tertelan begitu saja. Mungkin itu karena sejak usia 5 tahun kita tumbuh bersama. Aku pernah menanyakan, mengapa kamu tidak ke Perancis saja ikut Papamu, setelah mamamu, yang juga tanteku, meninggal dunia karena kanker. Aku mendapat jawaban yang tidak bisa lagi kubantah, karena kamu menjawabnya dengan tangisan! Mulai saat itu aku takut menanyakan hal yang sama. Tapi alasannya sekarang karena aku terlanjur menyayangimu dan takut kehilanganmu. Kamu satu-satunya saudara yang aku punya. Kamu tempat berbagi segalanya.
Aku pernah sekali marah padamu.
'Biarkan aku sendiri!' sengitku sambil menutupi tubuh dan mukaku dengan selimut, sepulang dari kuliah, 2 tahun yang lalu. Kamu tahu kebiasaanku kalau sedang marah, maka kamu tidak menggangguku dengan berondongan pertanyaan seperti yang biasa dilakukan mama. Lalu kamu membuat salad kesukaanku dan dengan sabar menungguiku terbangun dari tidur murkaku. Melihat senyum tulusmu aku luluh juga. Kamu pasti tidak tahu kenapa aku marah padamu saat itu. Kamu tidak pernah menanyakannya. Maka akan kukatakan sekarang.
Aku marah karena Rene bilang menyukaimu! Kamu tahu kan, sudah lama aku menaruh perhatian padanya. Aku mulai mengikuti semua kegiatan ekstranya. Dari basket, senat, sampai bela diri, semata-mata hanya agar dapat dekat dengannya. Aku berhasil menjadi teman dekatnya, dan dengan sedikit bantuan sang waktu aku bisa mendapatkannya. Rene mulai sering main ke rumah dan dengan suka cita aku mengenalkannya padamu. (Satu kesalahan besar aku buat!). Sejak itu Rene sering mendekatiku.
Lalu suatu ketika di boulevard kampus, Rene ‘menculikku’ darimu. Di pantai itu hanya kami berdua. Ah, aku masih ingat bau udaranya, merasakan sejuknya angin yang membelai kulit telanjangku tanpa balutan jaket, birunya air laut, dan wajah tirus Rene yang semakin jantan dengan anak rambut yang dipermainkan angin laut. Aku sangat bahagia. Sangat! Mungkin seperti perasaan Ellinor White yang dibujuk Frost dengan My butterfly-nya… (ingat, kan kalau kita selalu menyukai sajak Frost?).
Lalu di tengah suasana romantis itu, Rene memegang kedua bahuku, membuat diriku berhadapan dengan tubuhnya. Sekujur tubuhku bergetar sangat hebat dan detak jantungku…, ah, untung debur ombak itu bisa meredam dentumannya. Mata Rene teduh menatapku. Dia hanya sejengkal di depanku. Baru kali ini kami sedekat ini. Aku telah siap menerima satu anugerah indah (bahkan aku mulai merencanakan untuk menceritakan padamu setiba di rumah). Sungguh, aku sangat bahagia. Namun, badai itu datang terlalu cepat.
'Cly,' begitu lembut dia memanggil namaku. Aku menahan nafas untuk menikmati semuanya.
'Karena kamu saudara sejiwa Elaine, aku minta izin untuk mencintai Elaine,… ' duer! Ombak ganas laut itu menampar mukaku. Aku ingin laut menelan tubuhku saat itu juga. Suasana berubah seperti saat Frost dilahirkan, dingin dan mencekam. Aku membeku. Senyum Rene berubah menjadi seringai yang menakutkan. Wajah gagahnya hanyalah topeng. Benar-benar monster yang tak punya perasaan. Aku ingin marah padamu Laine,… sekaligus aku ingin menjadi dirimu, seseorang yang dicintai Rene. Itulah alasannya aku marah padamu. (Ah, lega rasanya… akhirnya aku bisa menceritakan ini padamu.)

Laine, kabut sepertinya mulai turun di luar. Aku begadang semalaman untuk menulis ini. Kamu tahu kabar mama sekarang? Beliau sekarat karena merindukanmu, seperti aku. Kamu adalah belahan jiwanya, karena sebelah jiwanya milikku. Tidakkah kamu merindukan kami? Martin? Dia juga kebingungan mencarimu. Aku tidak mengatakan sebabnya kamu pergi. Itu bukan hakku. Kamu yang harus mengatakan padanya. Meskipun dia mendesakku, aku bungkam. Aku setia padamu, seperti setianya Chloe pada Daphnis, setianya Daphnis pada liranya.
Kemarin Dokter Susilo mencarimu. Aku mencari alasan yang masuk akal agar dia percaya. Tidak mungkin aku mengatakan pada beliau keadaan yang sebenarnya. Kamu ingat anaknya, Galen? Dulu waktu kecil kita bertiga sering main bersama. Galen suka menarik-narik rambut ikalmu. Supaya lurus, katanya. Bahkan dia mengambil setrika untukmu. Untung mama bisa mencegahnya. Ah, apa jadinya bila Galen kecil itu berhasil menyetrika rambutmu,… hahahaa... tentu aku tidak akan iri setiap kali melihat rambutmu.
Tiga minggu yang lalu dia pulang dari study-nya di Perancis. Aku kaget waktu bertemu dengannya di ruangan Dokter Susilo. Dia sangat berubah. Dia sangat ‘attirante’ (:tampan)! Kami sama-sama tertegun. Tujuh tahun tidak saling berjumpa, aneh rasanya. Kamu ingat kan, setelah lulus SMP Galen pergi ke Perancis? Untung Dokter Susilo cepat datang.
'Kenapa kalian bengong? Galen, ingat Clytie?' Aneh, Galen seperti tidak mendengar kata-kata Papanya. Lalu Dokter Susilo menoleh padaku.
'Cly, ingat Galen, teman kecilmu? Anak Om?' aku baru tersadar. Dia adalah Galen, Galen kita! Aku tersipu, Galen pun tak kalah malunya. Lalu kami berjabat tangan, sangat kaku. Lalu pada Galenlah aku menceritakan semuanya. Maafkan aku, Laine. Karena aku mempunyai alasan. Pertama karena Galen putra Dokter Susilo dan cepat atau lambat dia akan mengetahui keadaanmu dari papanya. Kedua, dia adalah Galen kita. Tempat semua rahasia kecil pernah kita bagi bersama. Kamu mau tahu reaksinya?
'Aku kaget waktu dengar dari papa, Tie…' kata Galen waktu berkunjung kesekian kali ke rumah kita. Aku tersenyum. Titie, itu nama kecil pemberian Galen untukku. Dia selalu memanggilku dengan nama itu sejak kecil, bukan Cly seperti yang lainnya. Susah! Itu alasan Galen kecil kita saat itu.
'Ya. Semua orang juga tidak menduganya,' jawabku sambil meletakkan jus durian kesukaannya di meja. Ingat, kan kalau kita bertiga adalah penggemar jus durian dan Galen adalah yang nomer satu. Dia adalah ‘Pendekar Durian’, hahahaaa……, aku tidak tahu apakah dia masih bangga dengan julukan itu.
'Bagaimana bisa terlambat ketahuannya?' tanya Galen kemudian. Lihat… dia sangat mengkhawatirkanmu! Sekarang dia sedang memandangi foto kita berdua di dinding. Dia pasti sedang mengagumimu,lalu membandingkan diriku denganmu.
'Kamu tahu, kan sifat Elaine. Ia paling tidak suka kalau diajak ke dokter. Ketahuannya baru-baru saja waktu dia terus menerus mengeluh kesakitan dan menemukan benjolan di…‘itu’nya semakin membesar.' Galen tersenyum kecil, aku masih sungkan menyebutnya. Ya, kamu kena Kanker Payudara! Mungkin itu adalah hal yang paling di takutkan oleh wanita di belahan dunia manapun.
'Terus?” kejar Galen sambil meminum jusnya.
'Setelah dibujuk untuk periksa, baru benar-benar ketahuan kalau Elaine positif kena kanker payudara. Apa mungkin keturunan ya?'
'Mamanya Elaine?'tebak Galen cepat. Aku mengangguk. Kami sama-sama membisu.
Jus durian di meja tidak menarik seleranya lagi. Galen pun sepertinya enggan meminumnya. Kami sama-sama tenggelam dalam kesedihan. Semua karenamu, Laine.
'Itu sebabnya dia pergi, Tie?' lagi-lagi aku mengangguk. Tidak biasanya aku miskin suara seperti ini. Seharusnya kita bertiga disini, Laine… seperti 17 tahun yang lalu…
'Aku jadi ingat cerita dalam Facing the Music,' suara Galen memecah kesunyian.
'Larry Brown?' tanggapku tak percaya. Galen juga menyukai sastrawan seangkatan Frost, seperti kita!
'Kamu juga membacanya?' seru Galen tak kalah terkejutnya. Dia tidak tahu kalau kita pengagum sastrawan perancis. Tunggu saja kalau dia lihat koleksi buku kita. Sungutku kesal!
'Kenapa jadi cemberut,Tie?”
'Soalnya kamu sok Perancis. Lupa dengan Indonesia, ya?' Galen bukannya marah malah terkekeh.
'Tie sayang, biar seabad pun aku hidup di sana, aku tetap cinta Indonesia. Mau tahu sebabnya?'
'Apa?' tantangku.
'Karena di belahan dunia manapun, tidak akan ada dua Clytie…' aku tersipu. Apa ini? Galen mulai merayuku? Hah?!
'Tuh kan diam lagi. Aku paling suka lihat kamu tersipu seperti itu,' makin merah mukaku. Maafkan aku, Laine… saat itu aku melupakanmu. Galen kembali menumbuhkan benih-benih di hatiku, dan makin lama makin subur. Makin hari Galen makin dekat denganku dan kenangan masa kecil semakin membuat kami tak terpisahkan. Sampai suatu ketika dia mengatakan perasaannya padaku. Kali ini bukan di pantai seperti Rene. Galen mengajakku naik ke atas gedung tertinggi di kota ini! Gila bukan? Kata Galen itu satu-satunya tempat kita bisa merasa memiliki dunia. Galen benar. Aku memiliki dunia karena aku mendapatkan cintanya!
Sekarang kita dua pasang, Laine. Aku dengan Galen dan kamu dengan Martin… ah, indahnya. Aku membayangkan kita berjalan ke pelaminan bersama… dengan gaun putih yang panjang dan mawar kuning bertaburan di mana-mana. Kamu pasti sangat cantik Elaine, dan aku juga pasti tak kalah cantiknya. Lihat ada yang telah berubah dari diriku, bukan? Sekarang aku mulai bisa memuji diriku sendiri. Semua karena Galen mencintaiku…

Laine,… apakah kamu tidak ingin membuat impian ini menjadi nyata. Aku telah melihatmu tumbuh, aku juga ingin melihatmu menjadi wanita yang matang bersamaku. Apakah kamu lupa kalau kamu terikat dengan Martin? Kasihan dia kebingungan karena kamu menghilang, sedangkan pernikahanmu tinggal sebulan lagi. Pulanglah Elaine… aku ingin memperlihatkan cincin dari Galen yang sekarang melingkar di jari manisku. Minggu kemarin dia melamarku dan aku berjanji untuk menikahinya. Terlalu cepat? Tidak juga … itu karena Galen dan aku saling mencintai.
Kamu ingat anime Hatachi No Engage-nya Mashiba Hiromi (anime karya Mashiba Hiromi dari Jepang, yang menceritakan janji kanak-kanak tentang pernikahan)? Kita berdua sangat menyukainya. Tapi tahukah kamu Laine, aku mempunyai alasan yang lebih dalam. Tanpa sepengetahuanmu, sebelum Galen ke Perancis, kami berdua pernah berjanji. Jika masing-masing dari kami tidak menemukan pasangan sejiwa, dan kami dipertemukan kembali, lalu ternyata kami jatuh cinta, maka kami akan menikah. Kami kini menepatinya. Siapa yang menyangka kalau sumpah masa kecil itu sekarang menjadi nyata.

Laine, pulanglah. Aku mohon kembalilah! Kamu harus menghadapi semuanya. Kamu tidak sendirian, Laine. Banyak orang yang menyayangimu dan tidak ingin melihat kamu menjadi seorang pengecut. Kamu harus operasi secepatnya, agar kami tidak kehilangan kamu selamanya. Operasi itu bukan akhir segalanya, Laine!
Dengan atau tanpa payudara, kamu tetap wanita sejati, kamu tetap cantik. Kamu harus tetap bersinar terang, seperti makna namamu. Kamu sekarang tahu kan, mengapa Mamamu memberi nama Elaine? Ya, supaya kamu terus bersinar di dalam kegelapan, terutama di saat-saat seperti ini.
Kamu tahu apa yang selalu dibisikkan Galen padaku? Tu es belle (=Kamu cantik). Aku selalu merasa bersinar setiap mendengar kata itu. Aku tidak perduli lagi jika bertemu dengan wanita yang lebih cantik dariku, karena bagi Galen aku yang paling cantik, dan akulah satu-satunya bidadari yang tinggal di hatinya. Aku juga tidak perduli apapun pendapat orang terhadapmu. Tu es Belle… karena kamu cantik, Laine…, sangat cantik. Kamu selalu cantik di mataku, juga di mata Martin. Maaf, Martin telah mengetahui semuanya dari Dokter Susilo. Marahlah jika kamu ingin marah, tapi Martin bersumpah menerimamu apa adanya.
Katakan apa yang harus aku lakukan, Laine… supaya kamu mengerti kalau lari dari kenyataan bukanlah satu-satunya jalan. Larilah ke pelukanku Laine, dan kita hadapi semuanya bersama.
Laine,… jika kamu masih mencintai Martin… pulanglah. Dia selalu ziarah ke makam Mamamu setiap sore. Karena kamu tidak lagi mengunjungi beliau, dia yang menggantikanmu. Martin mencintaimu, sangat mencintaimu. Martin tidak perduli tentang Mastektomi (pengangkatan payudara) itu. Dia hanya perduli denganmu. Martin mencintai jiwamu, bukan hanya tubuhmu. Kamu harusnya merasa beruntung Laine,… seberuntung aku mendapatkan cinta Galen. Pulanglah Laine… kita sekarang dua pasang… berjalanlah bersamaku ke pelaminan.
Aku menunggumu, Laine…

::written by: santie::

ARTI NAMA PELAKU
Clytie: adaptasi dari bhs Yunani, yaitu bidadari yang mencintai Helios (Dewa matahari) yang kemudian mengubah dirinya menjadi bunga matahari yang selalu menghadapkan wajahnya ke arah matahari.
Elaine: adaptasi dari bhs Perancis,yang artinya bersinar terang
Martin: adaptasi dari bhs Inggris/Latin, yang berarti prajurit dari Mars.
Galen: adaptasi dari bhs Yunani, yang artinya tenang atau hening.
Rene: adaptasi dari bhs Perancis/Latin, yang artinya terbit kembali.
Frost: sastrawan perancis yang lahir th 1874 yang terkenal dengan sajak Vermont nya.
Cloe dan Daphnis = merupakan kisah dari Longus, ttg cinta suci gembala domba bernama Daphnis yang ditolak cintanya oleh Cloe, kemudian membuat lira dan terus menerus meniupnya untuk merayu Cloe, dan akhirnya Cloe menerima cintanya.
Larry Brown = sastrawan perancis yang menulis Facing The Music, kumpulan cerpen , yang salah satunya menceritakan berubahnya sepasang suami istri setelah payudara si wanita terpaksa diangkat.

(cerpen ini dimuat di Femina penghujung 2002)

Thursday, October 23, 2003

LOVE IS...



Lilin di depanku masih terasa hangatnya. Baru beberapa detik padam. Aku mencoba menyentuh ujungnya dengan telunjuk. Panas! Lilin ini sedikit mencair, lumer di tanganku, tak lama membeku. Kudekatkan ke wajah. Warnanya putih. Padahal lilin yang tadi kunyalakan berwarna biru,... sebiru hatiku!
Kugesekkan telunjuk dengan ibu jari. Aku memandangi serpihan lilin yang sudah membeku itu jatuh di udara. Telunjukku bersih, tapi serpihan lilin itu masih tersisa di lantai bercampur dengan debu, dan mungkin sebentar lagi berteman dengan semut. Aku terus mengamatinya.
Posisi tidurku kini telungkup, mataku terus mengamati lantai. Serpihan itu sangat berharga, bagian dari lilin ulang tahunku. Hmm... sekitar 6 menit yang lalu, batinku sambil melirik jam di dinding. Sekarang jam 00.06 WIB.

Aku merayakan ulang tahun kali ini sendirian. Berbeda dengan tahun-tahun lalu, aku merayakannya bersama Anand. Ah,… kenapa menyebut nama itu saja terasa menyakitkan?
Apakah r i n d u itu ? Kenapa hidup di jantungku?
Biasanya jam segini aku mendefinisikan cinta dengannya lewat telepon. Konyol memang, tapi aku dan Anand selalu menyukainya dan telah menjadi kebiasaan yang mengasyikan selama 3 tahun ini. Sebuah ‘pesta’ yang menyenangkan! Sekarang aku mulai merindukannya. Ah, mataku mulai berkaca. Aku kesepian.
Apa arti cinta itu sekarang? Aku tidak punya seseorang untuk mencari maknanya. Aku sendirian ditemani lilin yang membeku kedinginan, persis seperti hatiku. Apa kabar Anand sekarang? Aku kehilangan warna, pelangiku terbang mengangkasa. Mengapa aku harus kehilangan? Dan mengapa aku begitu merindukan?
'Aku Orpheus,' kata Anand, setahun yang lalu waktu menelponku, di tanggal yang sama, di hari ulang tahunku.
'Dan aku Eurydice,'jawabku tak mau kalah. Kami tertawa.
'Jangan, aku akan kehilangan kamu nantinya,' balasnya. Aku tersenyum.
'Tapi rasanya aku cukup bahagia melihat kamu berjuang untukku, menjadi pahlawan yang memperjuangkanku.' Tepat! Jawabanku membuatnya terdiam.
'Tapi tetap saja aku akan sendirian, dan aku tidak bisa menghadapi hidup tanpamu, ' kilahnya kemudian. Dasar perayu ulung!
'Aku akan pergi ke dimensi waktu, ' lanjutnya.
'Untuk apa?'
'Meminta Jacques Offenbach merubah ending-nya, 'jawabnya.
'Kamu tidak akan berani,' balasku.
'Kamu mau bukti? 'tantang Anand. Dan kini dia telah membuktikannya. Sekarang pasti dia sedang berunding dengan Jacques Offenbach di alam sana. Ya… Anand telah meninggalkan semua mimpinya untuk selama-lamanya…, meninggalkan aku sendirian tanpanya.
Ah, aku mendesah panjang. Aku memandangi langit-langit. Foto Anand masih menjadi penghias mejaku. Kenapa Tuhan selalu mengambil orang yang baik,.. kenapa harus Anandku… kenapa? Keluhku.
Mataku berkaca! Rasanya sudah lama sekali aku tidak menangis. Sudah aku habiskan di makam Anand tiga bulan yang lalu. Apa makna cinta itu sekarang, Nand? Bisikku sedih. Dulu, kamu suka mengutip sajak Napoleon.
'Napoleon bisa bersajak?' tanyaku tak percaya.
'Kamu mau dengar?' aku mengangguk. Dan Anand mulai merayu…
'Bagiku, mencintaimu, membuatmu bahagia, tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginanmu adalah takdir dan tujuan hidupku'. Aku tak bisa menahan tawa. Anand terdiam di ujung sana.
'Maaf, 'aku memperbaiki sikap. Anand tetap diam.
'Jangan remehkan orang yang jatuh cinta, ” kata Anand kemudian.
' Tidak, tidak akan. Karena aku juga punya sajak yang sama bodohnya,' jawabku mencoba memperbaiki kesalahan.
' Coba, aku mau dengar,' tantangnya. Aku kelabakan! Padahal aku hanya ingin memperbaiki keadaan. Sajak siapa? Aku mulai membedah ingatanku.
' Elizabeth Barrett Browning!' jawabku spontan. Sajak mana dari Elizabeth yang aku ingat? Aku makin panik.
'Bagaimana bunyinya?' aku benar-benar harus minta tolong ingatanku untuk menyelamatkan aku. Aku membiarkan diriku mengalir…
'Aku mencintaimu dengan nafas dan air mata yang ada pada seluruh hidupku… ' Anand gantian terkekeh. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya ditertawakan. Satu-satu! Rutukku dalam hati.
'Tahu matematika cinta? ' tanyanya. Aku mengernyitkan dahi.
' Apa? Memang ada? ”
'Ada, kata Ninon De L’enclos. ' Entah berapa banyak referensi yang dibacanya untuk mengumpulkan semua definisi cinta ini.
'Mana? ' tanyaku tak sabar.
' Hmm… satu ditambah satu sama dengan segalanya, dan dua kurang satu,… '
'Sama dengan tidak ada!' potongku dengan cepat.
' Kok kamu tahu sih? ' gerutunya. Aku tertawa.
'Tahu dong… bahkan aku tahu apa yang ingin kamu katakan sebelum kamu mengatakannya, '
Lalu sunyi. Kami sama-sama terdiam. Aku tak sadar mengatakan hal yang begitu menyentuh hatinya.
'Aku ingin m e n i k a h i m u,… ' pelan kalimat Anand mengalun seperti desir angin, gemericik air terjun, wangi mawar, langit biru, ombak lepas di lautan, danau yang tenang,… aku melayang…
' Kenapa diam, ' pelan aku turun dari angkasa. Ah, indahnya!
'Kamu serius? ' aku menata hatiku.
'Kamu bersedia? ' mukaku merona merah. Aku mengangguk. Bodoh! Mana Anand tahu makna anggukanku. Andai dia disini, desisku dalam hati.
'Ya,… ' ujarku lirih.
'Ah… akhirnya!' jerit Anand bahagia. Aku terlonjak kaget.
'Kenapa?'tanyaku.
'Karena aku butuh waktu yang lama dan keberanian yang cukup untuk mengatakannya. Terima kasih mau menerimaku. 'Aku tak menyangka akan seberat itu.
'Hiduplah bersamaku sampai tua,… 'Anand merayu. Hatiku makin berbunga-bunga.
'Jangan diam,… ' pintanya.
'Aku ingin menikmati malam ini, Nand. Aku ingin menikmati setiap detiknya, kamu membuatku di awan. Andai kamu di sini,… ' gumamku tidak sadar.
'Aku juga berharap hal yang sama. Andai jarak dan waktu tidak memisahkan kita, ' Jakarta-Australia memang tidak dekat.
'Kapan kamu pulang, Nand?'
'Paling tidak sampai setahun lagi. Kamu masih mau sabar menungguku, kan?' Tuhan, bagaimana mungkin dua orang yang saling mencintai dipisahkan jarak yang begitu besar? Jeritku dalam hati.
'Kapanpun kamu minta,aku akan menunggumu,' janjiku kemudian.
'Akankah kamu akan selalu setia?' tanyaku kemudian.
'Kenapa kamu ragukan?' Kenapa aku menanyakan hal bodoh itu? Aku diam menelan ludah.
'Percayalah padaku,karena aku tidak akan mencintai dan tidak akan pernah mencintai wanita manapun di dunia ini kecuali dirimu,dan keinginan utamaku adalah menyatukan diriku denganmu sepanjang hari dengan ikatan yang kemudian hari akan menjadi lebih erat dan lebih dalam. ” Sajak Sir Winston Churchill mengalun fasih dari mulut Anand. Mataku mulai berkaca, aku tidak tahu sedih apa gembira yang sedang aku rasakan ini. Yang jelas aku makin melayang…… sangat tinggi menyentuh bulan…

Tapi, sekarang siapa yang akan membacakan sajak-sajak indah itu? Kuusap pipiku yang basah air mata. A N A N D ... Setiap butir darahku terpatri namanya. Setiap alunan nafasku memuja hadirnya. Setiap ruang batinku penuh gambarnya. Setiap denyut jantungku ada karenanya. Apa kabarmu disana? Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu tahu apa yang sekarang aku rasakan? Apakah kamu melihat telaga ini yang mulai meluap karena merindukanmu. Kenapa kamu harus pergi? Kenapa pesawat keparat itu merenggutmu dariku??!
Ironisnya, Kamu bahkan belum mengatakan definisi cintamu sendiri…
Langitku runtuh sudah. A k u m e n a n g i s ! Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menangis lagi!
-santie-