CINTA ITU TANTANGAN
Siapa bilang cinta itu hanya akan bikin kita sedih dan sakit hati? Siapa juga yang bilang kalau cinta juga membuat kita nggak konsentrasi belajar? Ternyata malah sebaliknya, lho. Gara-gara jatuh cinta, aku jadi semangat belajar dan jadi aktif ikut kegiatan ekskul. Sebabnya? Steve, cowok yang sedang aku taksir ternyata super aktif! Bintang kelas, ketua OSIS, kapten basket, dan juara umum Jujutsu SMU tingkat Nasional! Belum cukup alasannya? O iya, dia juga cakep, karena dia juga model! Melupakannya? Oh, tidak. Justru aku tertantang untuk bisa mengalahkannya. Coba hitung berapa banyak cewek yang suka padanya? Lalu bandingkan berapa banyak yang mundur teratur karena tidak percaya diri. Lihat, lebih sedikit bukan sainganku?
Menurutku, mencintai juga butuh taktik. Aku percaya nggak semua orang mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi aku nggak secantik model. Mungkin sulit sekali untuk jatuh cinta pada pandangan pertama denganku. Sebaliknya, mudah sekali mencintai Steve. Sekali pandang, 'tap’ ! Mungkin nggak terhitung cewek yang langsung klepek-klepek saat pertama kali bertemu dengannya.
Tapi tunggu dulu. Meskipun aku nggak secantik model yang sering nampang di majalah dan TV, aku juga mempunyai bakat. Menyanyi ! Aku juga jago bikin puisi. Kerap puisiku dimuat di majalah remaja. Lebih dari lima buah piala lomba menyanyi menghiasi kamarku. So, aku punya alasan untuk terus maju, bukan?
Sore itu jadual Steve latihan basket. Aku tiba di lapangan paling awal. Untuk apa? Aku nggak pernah melewatkan kesempatan melihat Steve latihan basket, meski aku ada di bangku urutan paling belakang. Apalagi sebentar lagi ada turnamen basket se DKI. Meski Steve nggak menyadari keberadaanku, aku nggak perduli. Aku hanya ingin selalu ada untuk menyemangatinya. Sia-sia? Tidak juga. Buktinya Steve selalu mencetak poin setiap kali aku menungguinya latihan atau bertanding !
Lihat disana, di antara pemain lainnya, Steve paling menonjol dan paling banyak mendapat dukungan. Lihat caranya tersenyum … (aku nggak bakalan melupakan senyum khasnya itu!). Hmm, aku memang nggak salah pilih!
Sudah 3 bulan sejak aku jadi anak baru di sekolah ini, belum sekali pun aku punya kesempatan untuk bicara dengannya. Padahal kami sekelas. Aku nggak mau langsung deketin dia dengan alasan yang dibuat-buat. Tidak, itu bukan tugasku. Steve lah yang harusnya mendatangiku. Sabar, begitu ujar batinku setiap kali kelebatan bayangan Steve menarik-narik mataku. Hingga suatu hari …
'Tiara, kan namamu?' aku melonjak kaget. Angin apa yang membuat sosok menawan ini mengajakku bicara? Aku mengangguk gugup.
'Band kami sedang butuh penyanyi. Aku dengar kamu punya suara yang bagus. Kamu bersedia ikut audisi kecil kami besok?' mata cokelatnya berpendar. Steve juga anak band? Wow!
'Gini,' Steve mendekatkan tubuhnya. Aku mencium harum segar karisma yang sekarang di depan mataku. Jangan sia-siakan, Ra …suara bijaksana berbisik di telingaku.
'Baru sebulan ini aku dan beberapa teman yang suka musik membentuk band. Namanya FISH Band,' Steve berhenti sejenak. Aku geli mendengar nama band-nya. Steve tersenyum.
'Namanya aneh, ya? Hehehee … idenya, sih karena semua anggota band kami berbintang Pisces. Aku main drum. Kebetulan penyanyinya belum ada. Ada beberapa calon, salah satunya kamu. Dari beberapa calon itu, kamu calon terkuat. Soalnya setelah aku periksa datamu, ternyata bintang kamu Pisces juga, ya? Itu yang kami cari! Taruhannya ganti nama band, nih kalau misalnya penyanyinya berbintang lain. So, kamu bersedia, kan datang ke tempat ini besok sore?' Steve mengangsurkan selembar kertas bertuliskan alamat. Aku bengong.
'Sst, katanya kalau diam itu berarti ‘iya’ . Jangan telat, yaaa …,' dengan santai Steve berlalu. Hah? Apa yang terjadi barusan? Mimpikah? Aku mencubit lenganku. Sakit! Terima kasih, Tuhan ... karena telah mengijinkan bunda melahirkanku dengan bintang Pisces hihihii …
Untung bunda mengijinkan aku pergi, syukurku dalam hati sambil merapikan t-shirt biruku. Nggak usah dandan berlebihan. Kalau memang Steve menyukaiku, sebaiknya ia menyukai apa yang ‘di dalam’, bukan apa yang tampak dari luar, ujarku bijaksana. Pemikiran seperti ini nggak aku dapat begitu saja, lho. Itu hasil dari hobiku membaca buku ‘bijaksana’ macam serial Chicken Soup. Yup, selesai! Aku mematut di depan cermin sekali lagi.
'Tiara, turun, dong. Dicari temenmu, nih!' suara Bunda dari bawah mengagetkanku. Aduh, pasti Rani mau pinjem pe er lagi. Gawat, nih …kalau sampai ketahuan, besok bisa jadi bahan gosip di sekolah. Aku kelabakan. Tapi udah terlanjur, mau gimana lagi? Aku memutuskan turun ke ruang tamu.
Deg! Jantungku hampir lepas dan berhenti berdenyut. Steve!
'Sore Ra,' Steve berdiri ketika melihatku. Aku gugup.
'Aku takut kamu nggak jadi datang, makanya aku cari alamat rumahmu dan menjemputmu,' katanya sopan menjawab keherananku. Oh, my Godness! Untuk beberapa saat aku speechless!
'Yuk, berangkat sekarang,' ajaknya sambil tersenyum manis. Pasti mukaku merona merah saat itu. Akhirnya setelah pamit, aku nurut saja waktu Steve membimbingku masuk ke VW kuningnya.
Audisi berjalan mulus. Aku resmi jadi vokalis band mereka. Jadi, apa alasanku untuk mundur sekarang? Nggak ada bukan? Aku pulang dengan senyum penuh kemenangan!
Ngobrol, jalan, dan dekat dengan Steve yang dulu merupakan impianku setiap malam, kini menjadi sesuatu yang biasa. Aku kini bebas berlama-lama mengamati wajahnya, menyelami matanya, dan tanpa ragu berjalan disampingnya. Hal ini tentu saja membuat iri teman-teman cewekku yang lain. Setiap Selasa, Kamis, dan Jumat, Steve dan anggota band lainnya seperti Ario, Hari, Nde, dan Indra, kerap menungguiku pulang sekolah, menjemputku latihan band, lalu mengantarku pulang. Tapi sepertinya itu nggak cukup untuk bisa dikatakan kalau aku telah merebut hati Steve. Kabar bagusnya, Steve belum punya pacar! Itu fakta yang aku dapat selama dua bulan bergaul dengannya. Tapi dua bulan bukan waktu yang cukup untuk mengenal seseorang, apalagi memasrahkan hati padanya.
'Pacar Steve sedang sekolah di Amrik,' ujar Ario, pemain bass band kami, santai. Ario pasti nggak tahu kalau ucapannya itu langsung membuatku jatuh ke jurang yang gelap. Antara percaya dan tidak percaya aku memilih mempercayai Ario. Ibaratnya, Ario adalah tangan kanan Steve, begitu juga sebaliknya. Sore itu aku pulang dengan hati yang patah!
Nggak enak badan, itu alasanku menolak latihan band dua hari kemudian. Sepertinya aku perlu waktu untuk menerima kenyataan, kalau aku mencintai pacar orang lain. Itu tidak ada dalam kamusku. Sst, itu juga etika sesama wanita, menurutku. Aku harus tahu kapan waktunya maju dan kapan harus mundur. Aku memang selalu memberi batasan pada sikapku.. Biar aku tumbuh menjadi wanita berprinsip, begitu nasehat bundaku. Aku pikir nggak ada salahnya, meskipun hatiku harus hancur karenanya. Jadi, dengan menguatkan hati, aku mengintip wajah kecewa Steve dan Ario yang menjemputku sore itu.
Besoknya waktu istirahat, Steve menghampiriku yang sendirian di kelas. Sungguh, saat itu aku nggak siap!
'Udah baikan, Ra?' suara khas Steve mengagetkanku. Aku menatap matanya sekilas dan berusaha tersenyum. Steve diam sejenak.
'Kamu tahu apa yang aku suka dari dirimu?' aku menggeleng campur heran. Nggak biasanya Steve mengatakan hal-hal seperti ini.
'Kamu penuh bakat, mandiri, dan tidak cengeng! Satu lagi, kamu selalu tersenyum. Jadi, aku nggak tahu apakah kamu sedang sedih atau senang saat ini, karena kamu selalu tersenyum. Dan jujur, aku sangat menyukai senyummu, Ra.' Aku tercengang. Steve selama ini mengamatiku! Bias malu melingkupiku. Nggak setiap hari aku mendapat pujian seperti ini, apalagi keluar dari mulut cowok yang selama ini menjadi pangeran di hatiku. Aku nggak boleh sedih, tekadku. Meskipun aku tahu kalau ucapan Steve hanya untuk menghiburku, tak lebih. Steve nggak mau melihatku mundur, apalagi kompetisi band yang diadakan salah satu radio gaul di Jakarta tinggal seminggu lagi. Aku melakukannya untuk Steve, kali ini murni karena aku menghormati dan mengagumi pemikirannya. Plus, karena aku ingin menunjukkan kalau Tiara memang gadis yang mandiri dan berbakat seperti perkiraannya. Semangat itu kembali memenuhi hatiku!
Hari ini kompetisi band itu! Sekitar 30 band peserta dan diantaranya sudah terkenal. Minder? Rasa itu pasti ada, karena band FISH adalah band baru. Umurnya saja baru jalan 4 bulan. Tapi Steve mempunyai kekuatan untuk membuat kami yakin dan bebas menunjukkan kebisaan kami yang sudah diasah hanya dalam waktu yang singkat itu.
Aku memandang pangeranku yang kelihatan sangat tampan hari ini dengan jeans dan t-shirt hitamnya. Dia berpaling dan sialnya, aku nggak punya cukup waktu untuk menghindar. Baru kali ini aku kepergok sedang menatapnya. Steve tersenyum. Aku membalasnya sambil menyimpan rasa perih di dada, mengingat senyum itu pasti nggak sepenuhnya khusus untukku. Gadis itu, yang katanya sedang sekolah di Amrik lah yang memilikinya. Aih, pahitnya!
Setelah band yang sekarang tampak sedang manggung itu, band kami peserta selanjutnya. Masing-masing dari kami melakukan pemanasan setelah berdo’a bersama. Apapun nanti hasilnya, menang atau kalah, kami bertekad memberikan yang terbaik. Berdo’a selesai.
Aku menatap penonton dari balik tirai panggung. Wow … berapa ribu orang yang menonton kami? Ario ikut mengintip di sebelahku.
'Ra, kamu sering-sering ngobrol sama Steve, deh!' aku kaget. Mengapa Ario berkata seperti itu? tatapku heran.
'Steve baru saja putus sama pacarnya. Katanya, sih pacarnya punya cowok baru disana. Kamu, kan satu-satunya cewek yang dekat dengannya. Tolong dong, ajak dia bicara. Jangan sampai masalah itu mengganggu pikirannya. Jujur aja Ra, tanpa Steve, band ini nggak hidup, deh.' Aku menatap mata Ario. Apa-apaan ini? Aku ingin memukulnya karena mengatakan hal seperti pada saat aku bersama anggota band lainnya harus manggung. Tapi disisi hatiku yang lain, aku sangat gembira. Berarti aku masih punya kesempatan mendekati Steve tanpa menyakiti orang lain. Semangat itu … tiba-tiba bergelora. Aku menatap Steve yang siap-siap naik ke atas panggung. Steve balas menatapku. Ada sesuatu yang berpendar disana, sesuatu yang lama aku cari. Dengan penuh keyakinan, aku mengikutinya, mengambil mike, menyanyi, dan memberikan kemenangan untuknya. Steve, cinta itu selalu menang!
::santie::
Monday, November 03, 2003
Sunday, November 02, 2003
SAAT RULLY JATUH CINTA
"Tambahkan dia kacamata, aku mungkin akan jatuh cinta!"
"Kenapa sih, kamu suka banget cowok berkacamata?" sentil Ririn. Rully belagak nggak dengar. Ekor matanya masih mengikuti cowok keren berkacamata yang barusan lewat. Setelah cowok itu hilang di tikungan, baru ia membagi perhatiannya buat Ririn, sahabat tercintanya.
"Barusan nanya apa?" tanya Rully pura-pura bego. Ririn hanya mendengus kesal sambil memainkan ujung rambutnya. Dua orang sahabat ini setiap hari pulang dan berangkat sekolah selalu bersama-sama. Selain karena rumah mereka hanya terpisah dua blok, dari TK sampai kelas 2 SMU, Ririn dan Rully selalu sekelas. Saking dekatnya, teman-teman mereka sering salah panggil. Bahkan ada yang menyangka mereka saudara, dan..kembar! Yang terakhir ini sering membuat mereka geli. Bagaimana bisa? Begitu tanggapan mereka sambil saling memandang lalu dilanjutkan acara mematut di depan cermin bersama. Tinggi dan berat tubuh mereka memang hampir sama. Tapi kalau dibandingkan dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki akan terlihat jelas perbedaannya. Dimulai dari atas, alias rambut. Rambut Rully ikal sedangkan rambut Ririn lurus. Muka jelas berbeda karena ‘pabrik’nya juga berbeda. Dengan 2 fakta ini saja sudah cukup dijadikan alasan untuk menyangkal tuduhan mereka. Bagaimana mungkin bisa tersebar gosip kalau mereka anak kembar? Apalagi kalau ditanya soal selera cowok. Syarat utama untuk jadi cowok Rully adalah harus berkacamata, biarpun cakepnya selangit kalau tidak berkacamata,… hmm, nggak akan mendapat perhatian Rully secuilpun. Sedangkan Ririn tidak tertarik dengan cowok berkacamata. Menurutnya, kacamata justru menutupi kegantengan cowok itu sendiri.
Rully seorang gadis yang manis. Ia mempunyai mata yang indah dan senyum menawan. Tak sedikit cowok yang mendekatinya. Bahkan Ririn secara diam-diam mendaftarkan Rully ikut pemilihan Gadis Sampul di majalah Gadis. Untuk itu, Ririn sudah siap menghadapi amukan sahabatnya kalau ternyata Rully masuk semi finalis dan foto Rully dilihat orang se-Indonesia!
Mengapa Rully suka cowok berkacamata? Sebenarnya alasannya sangat bodoh, itu pendapat Ririn. Rully fans setianya Superman, tokoh manusia super rekaan Jerry Siegel dan Joe Shuster. Berbagai pernak-pernik dan poster Superman memenuhi kamarnya. Menurutnya, cowok cakep dan mempunyai kekuatan super ini juga ada di bumi. Salah satu cirinya, ya, berkacamata, seperti Clark Kent. Itulah alasan Rully mengapa kacamata adalah syarat utama menjadi cowoknya (diantara syarat-syarat lainnya tentunya).
Ada, sih, cowok yang berkacamata di kelas. Namanya Tony. Tapi Tony cowok cabi, ciri kedua cowok yang tidak disukai Rully. Ada lagi Deny anak Fisika 2. Sudah keren, kaya… berkacamata lagi! Diperkuat tanda-tanda sepertinya Deny ada perhatian sama Rully. Tapi ketika ‘calon’ ini diajuin, eh..Rully malah berang. Katanya biarpun cakep, Deny, tuh, suka nggampangin cewek dan tidak cerdas, ciri ketiga cowok yang tak disukai Rully. Pokoknya bikin Ririn pusing, karena sahabat tercintanya ini sampai sekarang belum punya pacar lantaran semua calon tidak memenuhi syarat. Jadi Rully sampai sekarang nggak punya pacar bukannya nggak laku lho, begitu bela Ririn di depan teman-temannya yang curiga kenapa Rully masih saja jomblo sampai sekarang.
Siang itu saat Ririn mau berangkat sekolah, Rully sudah siap menunggunya di depan pagar rumah. Hari itu mereka masuk siang, gantian dengan kelas 1.
“Tumben nyamperin?” sapa Ririn sambil menutup pintu gerbang rumahnya. Rully hanya senyum-senyum kecil. Mereka berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak 2 km dari rumah Ririn.
“Kok malah cengar-cengir?” Ririn makin penasaran. Rully mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Ririn.
“Tadi malam aku bermimpi ketemu Su…” bisikan Rully menggantung. Secara reflek ia mendorong Ririn menjauh dan dalam waktu bersamaan kepalanya melengak ke kiri menghindari bayangan hitam yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ternyata bola basket! Untung saja naluri taekwondo-nya tajam dan membuatnya terhindar dari bahaya yang tiba-tiba datang.
“Maaf, ya…” seorang cowok berkostum olahraga dengan nafas tersengal berlari menghampiri mereka, lalu mengambil bola basket yang bergulir di dekat kaki Rully. Menilik kostum yang dipakainya. pasti cowok ini anak kelas tiga yang sedang jam olahraga.
“Kamu nggak pa pa kan?” ada nada khawatir dalam suara bagus itu. Rully menggeleng sambil membantu Ririn berdiri. Saat matanya beralih ke cowok itu Rully jadi bengong. Baru disadarinya ternyata cowok itu cakep banget dan matanya…. baru kali ini Rully melihat mata seteduh itu. Ada sesuatu dalam mata cowok itu yang menarik-narik Rully untuk nggak mengalihkan pandangan.
“Eh, kamu anak kelas berapa sih, kok aku jarang lihat?” selidik Ririn sambil mengamati muka cowok itu yang berpeluh. Cakep juga, batin Ririn sambil melirik Rully yang masih bengong.
“Aku anak baru di kelas 3 Fisika 3. Baru kemarin pindah,” jawabnya kalem.
“Oh, pantesan. Kami anak kelas 2 Fisika 1. Kenalkan aku Ririn dan ini temanku, Rully,” ujar Ririn sambil mengangsurkan tangan dan menggamit lengan Rully agar melakukan tindakan sepertinya, ritual berkenalan.
“Andre,” jawab cowok itu sambil menyambut uluran tangan Ririn kemudian Rully. Rasa hangat tiba-tiba menjalar saat jari Andre menyentuh telapak tangannya. Rasa hangat itu merambat terus sampai ke hatinya, lalu naik ke kepala, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan terakhir kakinya! Tak sengaja mata Rully bertemu mata Andre. Sekali lagi rasa hangat itu melingkupinya. Rully nggak tahu apa yang Ririn dan Andre obrolkan kemudian karena ia sibuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Sejak itu Rully jadi pendiam. Ririn yang setiap hari bersamanya jadi nggak tahan.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Ririn sambil melempari Rully dengan kacang goreng yang dibelinya di kantin. Akhir-akhir ini Rully jadi rajin ke perpustakaan, hal yang jarang dilakukannya meskipun Rully selalu 3 besar di kelas. Rully hanya melempar senyum kecil lalu beranjak dan menggamit lengan Ririn, mengajaknya ke ruangan diskusi agar percakapan mereka nggak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain.
“Gimana sih rasanya jatuh cinta?” pertanyaan Rully membuat Ririn termangu. Menyesal tadi bertanya, rutuknya dalam hati.
“Kamu lagi jatuh cinta? Sejak kapan? Sama cowok berkacamata yang mana? Ketemu dimana, sih, kok nggak pernah cerita?” Ririn penasaran. Diberondong pertanyaan bertubi-tubi membuat Rully jengah. Belum sempat Rully menjawab, matanya menangkap satu sosok yang sangat dikenalnya tiba-tiba berkelebat melintasi mereka.
“Hai Rully, lagi diskusi apaan, nih?” sapa Andre dan berhenti tepat didepan Rully. Hanya meja kayu yang memisahkan keduanya. Rully terkesiap kaget dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Mukanya terasa panas. Rasa hangat itu kembali datang. Kini diiringi detak jantung yang kian kencang. Keringat dingin pun mulai keluar. Ririn menatap Rully yang salah tingkah. Ia heran melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya.
“Eh, Andre. Biasa…girls stuff-lah…” jawab Ririn sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Andre nggak mengganggu. Andre hanya terkekeh sambil meninggalkan senyum yang kemudian terpatri manis di relung hati Rully.
“Oi,… kamu suka Andre ya?” goda Ririn setelah Andre pergi. Debar itu telah reda sekarang.
“Kok kamu bisa ngomong gitu sih?” kilah Rully sambil memperbaiki duduknya.
“Habis mukamu merah kayak kepiting rebus waktu Andre tadi kesini,” jawab Ririn sambil tertawa. Rully merengut kesal.
“Nggak mungkin lah aku suka Andre,” bantah Rully.
“Lho, buktinya yang bisa bikin kamu kalang kabut seperti ini, kan, baru Andre. Belum pernah aku lihat kamu segrogi itu di depan cowok.”
“Tambahkan Andre kacamata, mungkin aku akan jatuh cinta,” kelakar Rully sedikit puitis.
“Rully..Rully… sebenarnya kamu nunggu siapa sih? Clark Kent nggak akan nyamper kesini, deh. Dia masih banyak tugas di dunianya sana. Dan kamu akan jomblo selamanya kalau nggak mau jujur dengan diri sendiri. Superman nggak hanya menyamar jadi cowok berkacamata saja. Mungkin memang Andre nggak bisa terbang seperti Superman. Tapi dia akan membuatmu mengenal dunia lain selain Planet Krypton, yang mungkin jauh lebih indah.” Panjang lebar Ririn menasihati sahabatnya.
“Rin,…Rully mana?” Andre tiba-tiba sudah menjajari langkahnya. Ririn tersenyum. Akhirnya nyamper juga, benak Ririn senang. Kemarin Andre hanya melihatnya dari kejauhan dengan pandangan bertanya-tanya melihat ia seharian tanpa Rully.
“Rully sakit,” jawabnya pendek sambil melirik muka cakep disebelahnya. Andre memperlambat langkahnya. Jelas sekali ia kaget mendengar kabar yang dibawanya.
“Sakit apa?” tanya Andre cepat. Raut muka cemas tergambar jelas di wajahnya. Ah Rully, kamu telah menyia-nyiakan cowok setampan dan sebaik ini, sesalnya dalam hati.
“Andre,…dengan perhatianmu itu, aku tahu kok kalau kamu naksir Rully. Lupain aja,deh. Rully nggak mungkin menerima kamu jadi cowoknya,” tutur Ririn hati-hati. Muka Andre memerah.
“Rully udah punya cowok, ya?” patah kini suara Andre. Ririn menggelengkan kepala.
“Rully suka cowok yang berkacamata, seperti Clark Kent,” jawab Ririn sambil berlalu meninggalkan Andre yang masih kebingungan. Ririn takut kalau masih bersama Andre akan tambah menyakiti hatinya.
“Lho, kok udah masuk, sih? Udah baikan, ya? Tahu gitu aku tadi mampir ke rumahmu,” sapa Ririn riang sambil meletakkan tasnya di bangku lalu duduk di sebelah Rully.
“Bosan di kamar terus. Lagian udah mendingan dan nggak pusing lagi. Banyak pe er ya?”jawab Rully masih dengan suara lemahnya. Ririn lalu mengeluarkan bukunya.
“Eh, Rin… bukankah itu Andre?” Tanya Rully sambil menunjuk lapangan olahraga melalui jendela kelas. Ririn mengikuti arah telunjuk tangan Rully. Tampak anak kelas 3 sedang latihan basket. Andre sedang mendribel bola dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tampak memegang sesuatu di wajahnya. Cara memegangnya seperti mencegah sesuatu itu agar tidak jatuh. Sepertinya kondisi ini membuatnya kesulitan bergerak bebas.
“Tapi…kok dia pakai kacamata, sih? Jadi kelihatan aneh, ya” gumam Rully pelan. Ririn malah bengong. Rully balik menatap Ririn.
“Jangan-jangan….” selidik Rully curiga.
“Hah? Aku?” Ririn tergagap. Memorinya terbang pada kejadian kemarin waktu Andre mendekatinya dan menanyakan keberadaan Rully.
“Oh, itu..kemarin. Aku cuma bilang kalau kamu suka cowok berkacamata.” Mata Rully terbelalak kaget.
“Eh, menurutmu Andre lebih cakep kalau berkacamata, ya? Kamu kan suka Andre dan sekarang dia berkacamata. Nah, kurang apa lagi?” goda Ririn diselingi cubitan Rully yang mampir ke pinggangnya. Dari kejauhan Andre melambaikan tangan ke arah mereka. Rully jadi salah tingkah. Ingin rasanya ia berteriak “Andre….copot kacamatamu. Kamu kelihatan jeleeeeek…!!!”
-written by santie-
(cerpen ini pernah dimuat di majalah Gadis, menjadi penghiburan saat saya sedang sakit.)
"Tambahkan dia kacamata, aku mungkin akan jatuh cinta!"
"Kenapa sih, kamu suka banget cowok berkacamata?" sentil Ririn. Rully belagak nggak dengar. Ekor matanya masih mengikuti cowok keren berkacamata yang barusan lewat. Setelah cowok itu hilang di tikungan, baru ia membagi perhatiannya buat Ririn, sahabat tercintanya.
"Barusan nanya apa?" tanya Rully pura-pura bego. Ririn hanya mendengus kesal sambil memainkan ujung rambutnya. Dua orang sahabat ini setiap hari pulang dan berangkat sekolah selalu bersama-sama. Selain karena rumah mereka hanya terpisah dua blok, dari TK sampai kelas 2 SMU, Ririn dan Rully selalu sekelas. Saking dekatnya, teman-teman mereka sering salah panggil. Bahkan ada yang menyangka mereka saudara, dan..kembar! Yang terakhir ini sering membuat mereka geli. Bagaimana bisa? Begitu tanggapan mereka sambil saling memandang lalu dilanjutkan acara mematut di depan cermin bersama. Tinggi dan berat tubuh mereka memang hampir sama. Tapi kalau dibandingkan dengan teliti dari ujung rambut sampai ujung kaki akan terlihat jelas perbedaannya. Dimulai dari atas, alias rambut. Rambut Rully ikal sedangkan rambut Ririn lurus. Muka jelas berbeda karena ‘pabrik’nya juga berbeda. Dengan 2 fakta ini saja sudah cukup dijadikan alasan untuk menyangkal tuduhan mereka. Bagaimana mungkin bisa tersebar gosip kalau mereka anak kembar? Apalagi kalau ditanya soal selera cowok. Syarat utama untuk jadi cowok Rully adalah harus berkacamata, biarpun cakepnya selangit kalau tidak berkacamata,… hmm, nggak akan mendapat perhatian Rully secuilpun. Sedangkan Ririn tidak tertarik dengan cowok berkacamata. Menurutnya, kacamata justru menutupi kegantengan cowok itu sendiri.
Rully seorang gadis yang manis. Ia mempunyai mata yang indah dan senyum menawan. Tak sedikit cowok yang mendekatinya. Bahkan Ririn secara diam-diam mendaftarkan Rully ikut pemilihan Gadis Sampul di majalah Gadis. Untuk itu, Ririn sudah siap menghadapi amukan sahabatnya kalau ternyata Rully masuk semi finalis dan foto Rully dilihat orang se-Indonesia!
Mengapa Rully suka cowok berkacamata? Sebenarnya alasannya sangat bodoh, itu pendapat Ririn. Rully fans setianya Superman, tokoh manusia super rekaan Jerry Siegel dan Joe Shuster. Berbagai pernak-pernik dan poster Superman memenuhi kamarnya. Menurutnya, cowok cakep dan mempunyai kekuatan super ini juga ada di bumi. Salah satu cirinya, ya, berkacamata, seperti Clark Kent. Itulah alasan Rully mengapa kacamata adalah syarat utama menjadi cowoknya (diantara syarat-syarat lainnya tentunya).
Ada, sih, cowok yang berkacamata di kelas. Namanya Tony. Tapi Tony cowok cabi, ciri kedua cowok yang tidak disukai Rully. Ada lagi Deny anak Fisika 2. Sudah keren, kaya… berkacamata lagi! Diperkuat tanda-tanda sepertinya Deny ada perhatian sama Rully. Tapi ketika ‘calon’ ini diajuin, eh..Rully malah berang. Katanya biarpun cakep, Deny, tuh, suka nggampangin cewek dan tidak cerdas, ciri ketiga cowok yang tak disukai Rully. Pokoknya bikin Ririn pusing, karena sahabat tercintanya ini sampai sekarang belum punya pacar lantaran semua calon tidak memenuhi syarat. Jadi Rully sampai sekarang nggak punya pacar bukannya nggak laku lho, begitu bela Ririn di depan teman-temannya yang curiga kenapa Rully masih saja jomblo sampai sekarang.
Siang itu saat Ririn mau berangkat sekolah, Rully sudah siap menunggunya di depan pagar rumah. Hari itu mereka masuk siang, gantian dengan kelas 1.
“Tumben nyamperin?” sapa Ririn sambil menutup pintu gerbang rumahnya. Rully hanya senyum-senyum kecil. Mereka berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak 2 km dari rumah Ririn.
“Kok malah cengar-cengir?” Ririn makin penasaran. Rully mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Ririn.
“Tadi malam aku bermimpi ketemu Su…” bisikan Rully menggantung. Secara reflek ia mendorong Ririn menjauh dan dalam waktu bersamaan kepalanya melengak ke kiri menghindari bayangan hitam yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ternyata bola basket! Untung saja naluri taekwondo-nya tajam dan membuatnya terhindar dari bahaya yang tiba-tiba datang.
“Maaf, ya…” seorang cowok berkostum olahraga dengan nafas tersengal berlari menghampiri mereka, lalu mengambil bola basket yang bergulir di dekat kaki Rully. Menilik kostum yang dipakainya. pasti cowok ini anak kelas tiga yang sedang jam olahraga.
“Kamu nggak pa pa kan?” ada nada khawatir dalam suara bagus itu. Rully menggeleng sambil membantu Ririn berdiri. Saat matanya beralih ke cowok itu Rully jadi bengong. Baru disadarinya ternyata cowok itu cakep banget dan matanya…. baru kali ini Rully melihat mata seteduh itu. Ada sesuatu dalam mata cowok itu yang menarik-narik Rully untuk nggak mengalihkan pandangan.
“Eh, kamu anak kelas berapa sih, kok aku jarang lihat?” selidik Ririn sambil mengamati muka cowok itu yang berpeluh. Cakep juga, batin Ririn sambil melirik Rully yang masih bengong.
“Aku anak baru di kelas 3 Fisika 3. Baru kemarin pindah,” jawabnya kalem.
“Oh, pantesan. Kami anak kelas 2 Fisika 1. Kenalkan aku Ririn dan ini temanku, Rully,” ujar Ririn sambil mengangsurkan tangan dan menggamit lengan Rully agar melakukan tindakan sepertinya, ritual berkenalan.
“Andre,” jawab cowok itu sambil menyambut uluran tangan Ririn kemudian Rully. Rasa hangat tiba-tiba menjalar saat jari Andre menyentuh telapak tangannya. Rasa hangat itu merambat terus sampai ke hatinya, lalu naik ke kepala, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan terakhir kakinya! Tak sengaja mata Rully bertemu mata Andre. Sekali lagi rasa hangat itu melingkupinya. Rully nggak tahu apa yang Ririn dan Andre obrolkan kemudian karena ia sibuk mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Sejak itu Rully jadi pendiam. Ririn yang setiap hari bersamanya jadi nggak tahan.
“Kamu kenapa, sih?” Tanya Ririn sambil melempari Rully dengan kacang goreng yang dibelinya di kantin. Akhir-akhir ini Rully jadi rajin ke perpustakaan, hal yang jarang dilakukannya meskipun Rully selalu 3 besar di kelas. Rully hanya melempar senyum kecil lalu beranjak dan menggamit lengan Ririn, mengajaknya ke ruangan diskusi agar percakapan mereka nggak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain.
“Gimana sih rasanya jatuh cinta?” pertanyaan Rully membuat Ririn termangu. Menyesal tadi bertanya, rutuknya dalam hati.
“Kamu lagi jatuh cinta? Sejak kapan? Sama cowok berkacamata yang mana? Ketemu dimana, sih, kok nggak pernah cerita?” Ririn penasaran. Diberondong pertanyaan bertubi-tubi membuat Rully jengah. Belum sempat Rully menjawab, matanya menangkap satu sosok yang sangat dikenalnya tiba-tiba berkelebat melintasi mereka.
“Hai Rully, lagi diskusi apaan, nih?” sapa Andre dan berhenti tepat didepan Rully. Hanya meja kayu yang memisahkan keduanya. Rully terkesiap kaget dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Mukanya terasa panas. Rasa hangat itu kembali datang. Kini diiringi detak jantung yang kian kencang. Keringat dingin pun mulai keluar. Ririn menatap Rully yang salah tingkah. Ia heran melihat perubahan yang terjadi pada sahabatnya.
“Eh, Andre. Biasa…girls stuff-lah…” jawab Ririn sambil memberi isyarat dengan tangannya agar Andre nggak mengganggu. Andre hanya terkekeh sambil meninggalkan senyum yang kemudian terpatri manis di relung hati Rully.
“Oi,… kamu suka Andre ya?” goda Ririn setelah Andre pergi. Debar itu telah reda sekarang.
“Kok kamu bisa ngomong gitu sih?” kilah Rully sambil memperbaiki duduknya.
“Habis mukamu merah kayak kepiting rebus waktu Andre tadi kesini,” jawab Ririn sambil tertawa. Rully merengut kesal.
“Nggak mungkin lah aku suka Andre,” bantah Rully.
“Lho, buktinya yang bisa bikin kamu kalang kabut seperti ini, kan, baru Andre. Belum pernah aku lihat kamu segrogi itu di depan cowok.”
“Tambahkan Andre kacamata, mungkin aku akan jatuh cinta,” kelakar Rully sedikit puitis.
“Rully..Rully… sebenarnya kamu nunggu siapa sih? Clark Kent nggak akan nyamper kesini, deh. Dia masih banyak tugas di dunianya sana. Dan kamu akan jomblo selamanya kalau nggak mau jujur dengan diri sendiri. Superman nggak hanya menyamar jadi cowok berkacamata saja. Mungkin memang Andre nggak bisa terbang seperti Superman. Tapi dia akan membuatmu mengenal dunia lain selain Planet Krypton, yang mungkin jauh lebih indah.” Panjang lebar Ririn menasihati sahabatnya.
“Rin,…Rully mana?” Andre tiba-tiba sudah menjajari langkahnya. Ririn tersenyum. Akhirnya nyamper juga, benak Ririn senang. Kemarin Andre hanya melihatnya dari kejauhan dengan pandangan bertanya-tanya melihat ia seharian tanpa Rully.
“Rully sakit,” jawabnya pendek sambil melirik muka cakep disebelahnya. Andre memperlambat langkahnya. Jelas sekali ia kaget mendengar kabar yang dibawanya.
“Sakit apa?” tanya Andre cepat. Raut muka cemas tergambar jelas di wajahnya. Ah Rully, kamu telah menyia-nyiakan cowok setampan dan sebaik ini, sesalnya dalam hati.
“Andre,…dengan perhatianmu itu, aku tahu kok kalau kamu naksir Rully. Lupain aja,deh. Rully nggak mungkin menerima kamu jadi cowoknya,” tutur Ririn hati-hati. Muka Andre memerah.
“Rully udah punya cowok, ya?” patah kini suara Andre. Ririn menggelengkan kepala.
“Rully suka cowok yang berkacamata, seperti Clark Kent,” jawab Ririn sambil berlalu meninggalkan Andre yang masih kebingungan. Ririn takut kalau masih bersama Andre akan tambah menyakiti hatinya.
“Lho, kok udah masuk, sih? Udah baikan, ya? Tahu gitu aku tadi mampir ke rumahmu,” sapa Ririn riang sambil meletakkan tasnya di bangku lalu duduk di sebelah Rully.
“Bosan di kamar terus. Lagian udah mendingan dan nggak pusing lagi. Banyak pe er ya?”jawab Rully masih dengan suara lemahnya. Ririn lalu mengeluarkan bukunya.
“Eh, Rin… bukankah itu Andre?” Tanya Rully sambil menunjuk lapangan olahraga melalui jendela kelas. Ririn mengikuti arah telunjuk tangan Rully. Tampak anak kelas 3 sedang latihan basket. Andre sedang mendribel bola dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya tampak memegang sesuatu di wajahnya. Cara memegangnya seperti mencegah sesuatu itu agar tidak jatuh. Sepertinya kondisi ini membuatnya kesulitan bergerak bebas.
“Tapi…kok dia pakai kacamata, sih? Jadi kelihatan aneh, ya” gumam Rully pelan. Ririn malah bengong. Rully balik menatap Ririn.
“Jangan-jangan….” selidik Rully curiga.
“Hah? Aku?” Ririn tergagap. Memorinya terbang pada kejadian kemarin waktu Andre mendekatinya dan menanyakan keberadaan Rully.
“Oh, itu..kemarin. Aku cuma bilang kalau kamu suka cowok berkacamata.” Mata Rully terbelalak kaget.
“Eh, menurutmu Andre lebih cakep kalau berkacamata, ya? Kamu kan suka Andre dan sekarang dia berkacamata. Nah, kurang apa lagi?” goda Ririn diselingi cubitan Rully yang mampir ke pinggangnya. Dari kejauhan Andre melambaikan tangan ke arah mereka. Rully jadi salah tingkah. Ingin rasanya ia berteriak “Andre….copot kacamatamu. Kamu kelihatan jeleeeeek…!!!”
-written by santie-
(cerpen ini pernah dimuat di majalah Gadis, menjadi penghiburan saat saya sedang sakit.)
Subscribe to:
Posts (Atom)